Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Sabtu, 19 November 2011

PROSES PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG


PROSES PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG

  1. Pendahuluan

Judicial Review di negara-negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat. Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kecenderungan untuk bersikap rigid terhadap doktrin supremasi hukum. Karena itu penganut sistem sentralisasi biasanya menolak untuk memberikan kewenangan ini kepada pengadilan biasa, karena hakim biasa dipandang sebagai pihak yang harus menegakkan hukum sebagaimana yang termaktub dalam suatu peraturan perundangan. Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu seperti Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, kewenangan melakukan judicial review atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan yaitu Mahkamah Agung. Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena pengadilan memang berfungsi untuk menafsirkan hukum dan untuk menerapkannnya dalam kasus-kasus. Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan yang tidak mengidealkan prinsip ‘checks and balances’, pengujian semacam itu, jika diperlukan, dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Misalnya, suatu Undang-Undang hanya dapat diuji oleh Presiden dan DPR yang memang berwenang membuatnya sendiri. Usul mengenai pencabutan suatu Undang-Undang bisa datang dari mana saja, tetapi proses perubahan ataupun pencabutan Undang-Undang itu harus datang dari inisiatif Presiden atau DPR sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk itu. Itulah sebabnya, selama ini dianut pendapat bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji materi peraturan di bawah Undang-Undang, tetapi tidak berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil. Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya. Sedangkan Pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.

B. Judicial Review di Indonesia

Dalam proses pembentukan UUD 1945 terjadi perdebatan tentang perlunya Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif untuk memiliki kewenangan menilai apakah suatu peraturan perundangan sesuai dengan konstitusi. Soepomo  tidak sependapat karena  menurutnya kekuasaaan demikian terdapat pada negara yang menganut sistim pemisahan kekuasaan  (konsep trias politica). Sementara Rancangan UUD tidak, dan kekuasaan yudikatif tidak mengontrol kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Menurut  Supomo, di negara-negara lain seperti Austria, Ceko-Slowakia dan Jerman, kewenangan tersebut  dilaksanakan oleh suatu pengadilan yang memang khusus menangani masalah konstitusi. Akhirnya BPUPKI dan PPKI menolak usul tersebut dan tidak memasukkannya ke dalam UUD sebagai bagian wewenang yudikatif MA. Tahun 1970 UU 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada MA untuk menilai kesesuaian suatu peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi (judical review). Namun kewenangan itu, terbatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari UU dan tidak mengatur penilaian UU terhadap UUD. UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama. Tahun 1993 diterbitkan Perma 1/93 Tentang Hak Uji Materiil tertanggal 15 Juni 1993 sebagai reaksi terhadap permohonan judicial review yang diajukan harian Prioritas kepada MA terhadap Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7 bulan sebelumnya.  Tahun 1999 MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1/1999 tentang Judicial Review dalam rangka memperbaharui teknis pelaksanaan judicial review yang sebelumnya diatur dalam Perma 1/1993. Pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan Amandemen Kedua UUD 45 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam pasal 25B, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum dalam Rancangan Amandemen Kedua UUD 45 yang disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi direncanakan untuk mempunyai 3 kewenangan: (i) menguji secara materiil atas UU dan UUD; (ii) memutus atas pertentangan antar UU; (iii)  memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, antara pemerintah pusat dengan daerah, antar pemerintah daerah. Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada bulan Agustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan I MPR  Bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak dicapai kesepakatan. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP TAP III/2000, yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR ada di tangan MPR, sedang MA hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah UU.PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiil atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang, sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh lembaga MPR ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai ‘judicial review’, karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh ‘legislator’. Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk  kompartemen baru. Meskipun TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan mengenai ‘legislative review’ yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan, karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undang-Undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua MA mendukung pendapat ini, pertentangan aturan adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR. Idealnya kewenangan pengujian materi peraturan perundang-undangan diintegrasikan saja menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, perumus kebijakan konstitusional negara kita tidak berpendapat demikian. Dalam perubahan terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya sampai tingkat Undang-Undang, sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang”[1]. Sedangkan Pasal 24C ayat (1) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan  lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.. Dengan demikian, pengujian terhadap materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi menyangkut konstitusionalitas undang-undang saja, dan penyelesaian sengketa antara pusat dan daerah ataupun antar pemerintah daerah tidak ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Sebelum hakim Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan melakukan pengujian itu dilimpahkan kepada Mahkamah Agung.  Beberapa permasalahan sehubungan dengan pelaksanaan kewenangan MK oleh MA pada masa transisi tersebut akan dielaborasi lebih lanjut.

Judicial Review dalam Perundangan-Undangan di Indonesia
Seperti dimaklumi, dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945 selama ini, MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dari lembaga tertinggi MPR itulah cabang-cabang kekuasaan negara dibagikan ke lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan. Karena itu, hubungan antar cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak didasarkan atas prinsip ‘checks and balances’, dan karena itu, produk lembaga legislatif bersama-sama eksekutif berupa Undang-Undang dinilai tidak dapat dilakukan pengujian (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. Kalaupun hal itu hendak dilakukan, maka pengujian itu dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Pengujian terhadap produk hukum di Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap undang-undang (legislative acts) dan terhadap produk di bawah undang-undang (executive acts). Yang kurang mendapat perhatian dalam studi ilmu hukum selama ini adalah pengujian terhadap produk atau putusan hakim sendiri yang cenderung tidak dipahami berada dalam konteks pengertian ‘judicial review’ juga. Di Indonesia sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung, bahkan terhadap putusan kasasi yang dibuatnya sendiri. Di Jerman, dikenal pula adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali putusan Mahkamah Agung dari segi konstitusionalitas tidaknya putusan itu. Dengan perkataan lain, dalam pengertian ‘judicial review’ itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislative dan eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakim sendiri. Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedang kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan Judicial Review antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, berdasar ketentuan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD MK memiliki berbagai macam wewenang, namun Perma No 2 Tahun 2002 tidak mampu memberi perbedaan untuk tiap kewenangan MK dalam merumuskan hukum acara yang seharusnya memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Misalnya hukum acara untuk memberikan putusan mengenai pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan atau wakil Presiden tidak dapat disamakan dengan hukum cara untuk melakukan uji materil teradap Undang-Undang.
Kedua, pembatasan waktu untuk melakukan Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 2 huruf a Perma No. 2 tahun 2002 ditegaskan bahwa permohonan tentang menguji undang-undang terhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak Undang-undang itu diundangkan. Secara khusus pembatasan ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 24C, dan secara umum tidak sejalan dengan filosofi pemberian kewenangan kepada MK untuk menguji UU. Semestinya MA tidak membatasai UU yang bisa dimohonkan judicial review. Karena sesuai Perma No. 2 Tahun 2002 berarti hanya UU baru saja yang bisa diuji dan dikontrol publik melalui mekanisme Judicial Review. Sejalan dengan tahun-tahun Orde Baru dan reformasi yang yang telah menghasilkan berbagai produk peraturan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak dan seringkali lebih merupakan dorongan politis dan kepentingan tertentu saja, maka pembatasan ini terkesan lebih sebagai upaya untuk mengamankan produk-produk politis belaka. Selain itu kesadaran hukum masyarakat yang dinamis dan selalu berubah seharusnya juga perlu diberikan ruang, sehingga justru penting untuk tidak membatasi peraturan-peraturan yang dapat diajukan pada proses Judicial Review.
Perma No. 1 Tahun 1999
Seperti kita ketahui, bahwa selain menjalankan kewenangan pada masa transisi sebelum berdirinya MK, MA juga berwenang untuk mengadili perkara judicial review untuk peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. UUD 1945 secara sengaja tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review terhadap UU. Namun demikian, berdasarkan TAP MPR No. III/1978, kewenangan tersebut diberikan ke MA secara terbatas, yaitu hanya untuk me-review peraturan perundang-undangan yang tingkatnya berada di bawah UU (yaitu PP ke bawah Selain itu, kewenangan yang serupa diatur pula dalam UU 14/1970 (Pasal 26) dan UU 14/1985 (Pasal 31).Ketentuan dalan kedua UU tersebut masih bersifat umum. Kedua UU tersebut pada intinya hanya menyatakan bahwa MA berwenang untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tersebut diambil melalui persidangan tingkat kasasi dan instansi yang bersangkutan harus segera mencabut peraturan perundang-undangan yang dinyatakan bertentangan tersebut. Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR dan UU di atas yang terlalu umum dan (khususnya karena ketidakjelasan prosedur judicial review), pada tahun 1993 MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Hak Uji Material (judicial review). Perma tersebut kemudian diubah pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya PERMA  No. 1/1999. Beberapa pokok pengaturan dalam PERMA tersebut adalah:
-           MA memeriksa dan memutus judicial review berdasarkan gugatan atau permohonan (Pasal 1 ayat [1]);
-           Gugatan atau permohonan judicial review diajukan langsung ke MA (Pasal 1 ayat [3] dan [4]. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Tap III/MPR/1978, UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 yang menyatakan bahwa putusan hak uji material (judicial review) diambil berhubungan dengan pemeriksaan ditingkat kasasi. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh UU
-           Yang dapat mengajukan gugatan adalah badan hukum dan kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat [5]), sedang yang dapat mengajukan permohonan adalah kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat [7]);
-           Tenggang waktu permohonan atau gugatan judicial review adalah 180 hari setelah peraturan perundang-undangan tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4]);
- Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat (pihak pembuat peraturan perundang-undangan) harus didengar keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang dalam hal permohonan, pihak pembuat peraturan perundang-undangan tidak perlu didengar pendapatnya;
-           Bila MA mengabulkan gugatan atau perhomonan judicial review maka pihak yang membuat peraturan perundang-undangan harus mencabutnya (Pasal 9 ayat [2] dan 10 ayat [2]) dan bila pihak yang membuat peraturan perundang-undangan  tersebut tidak mencabutnya maka 90 hari setelah putusan MA tersebut, peraturan perundang-undangan yang harus dicabut dianggap tidak sah dan tidak berlaku umum (Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]). 
Mekanisme Beracara
A. Prinsip-prinsip hukum acara
Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non-contentieus procesrecht” atau hukum acar non sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan). Bila menelaah asas-asas hukum publim yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara Judicial review seharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah :
a. Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharsunya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara –misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review—harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara Judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja – tidak hanya para pihak yang berperkara.
B. Pengajuan Permohonan atau Gugatan
Dalam Perma No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam Perma No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut.. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.Perma No. 1 tahun 1999 mengatur baras waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial Review. Sedangkan dalam perma No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
C. Alasan Mengajukan
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui Perma No. 2 tahun 2002, maupun dalam Perma No 1 tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam Perma hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi,dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.
D. Pihak yang berhak mengajukan judicial review
Dalam Perma no 1/1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam Perma ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang. Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU.
E. Putusan dan Eksekusi Putusan
 Dalam Perma No 1/1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU -baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar