Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Senin, 21 November 2011

PELANGGARAN HAM TERHADAP WARGA NEGARA UNTUK MENDAPATKAN HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Rumah, bagi banyak orang tidak menjadi kata sakral. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Padahal, rumah adalah bangunan dasar, fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain, dampak negatif bahkan ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada individuindividu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses) perumahan,
kehidupan pribadi, maupun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to a adequate standard of living).1 Hak rakyat atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia (HAM) seringkali dipersamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup. Karena hak ini berkaitan dengan hidup seseorang, maka rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (adequate housing). Kata ‘memadai’ ini menjadi penting untuk membedakan pendefinisian kata ‘rumah’ menjadi tidak sekadar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap.
Perihal demikian, sering terjadinya. Ketidak seimbangan hak dari pemeritah dalam melakukan konstruksi Rumah, dominan kepada bentuk pembangunan yang dilihat dari kuarter bangunan. Dalam artian, ketika adanya penggusuran, maupun bencana alam. Hal demikian manrik saya untuk melihat lebih jauh lagi tekait dengan pemenuhan hak warga Negara dalam mendapatkan penghidupan yang layak, tidak serta merta pembangunan tersebut didapatkan secara signifikan. Seperti yang dilansir jawa pos, dua suami istri, miran,70, dan bibit, 50, kedua suami istri tersebut hidup bersama dengan seekor kambing, digubuk yang mereka diami. Juga tidak terdaftarnya warga disekitar Jakarta utara, untuk masuk dalam institusi Rt dan RW. Karna lahan yang ditempati warga, bermasalah dengan huku. Sehingga kondisi wilayah mulai dari bangunan hingga lingkungan penuh dengan kotoran. Bukan Cuma hal demikian, status warga Negara, untuk memiliki KTP, dan KK, tidak demiliki warga.
Berangkat dari fenomena, seharusnya setiap warga Negara memiliki hak ekosop yang sama dengan warga lain’’. Sehingga Artikel ini, saya angkat dengan judul. PELANGGARAN HAM TERHADAP WARGA NEGARA UNTUK MENDAPATKAN HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK.Yang merupakan tanggung jawab negara untuk pemenuhannya, negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Tanggung jawab tersebut tegas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

RumusanMasalah
  1. Bagaimana implementasi pemenuhan hak atas perumahan oleh Negara?
  2. Siapakah yang bertanggungjawab untuk pemenuhan hak atas perumahan?
  3. Bagaimanakah sebenarnya relisasi pemeliharaan oleh negara yang dikehendaki oleh konstitusi,kovenen Internasional,Duham,Iccpr?

BAB II
PEMBAHASN
  1. Kasusu posisi
  • Kausus yang pertama; pasangan suami istri mira,70,dan bibit,50, yang hidup dalam keterbatasan, kedua pasangan terseut hidup dalam gubuk yang mereka diami, sekaligus menjadi kandang kambing. Kambing itu merupakan satu-satunya harta berharga yang dimiliki warga dusun bandungerjo,desa pogok,kecamatan pongggok. Meski berstatus kambing paron atau bagi hasil dengan warga lain, mereka tetap emelihara dengan penuh tanggung jawab. Untuk makan dan minum sehari-hari, mereka mengandalkan ngasak atau mungut disawah. Untuk mendapatkan bantuan/beras murah, dari pemerintah dengan ketentuan satu bula sekali.
  • Kasus yang kedua; warga dijakarta utara/ kampung banting remaja, yang hidup layaknya tak bernegara’ kondisi kampong yang tak teratur, mulai dari bangunan rumah hingga status kampong tak termasuk dalam institusi Rt dan RW. Sebagian besar warga dikampung kampung banting remaja sebatas pemulung,pengojek sepeda, pengamen,sopir, dan pekerja seks komersial. Dengan pendapatan rata-rata perkeluarga perhari tak lebih dari 25.000.

  1. Analisis pelanggaran HAM
Menurut saya dengan tidak adilnya pemberlakuan pemerintah dalam mensejaahterakan rakyat seperti yang terjadi di daerah Jakarta utara dan kecamatan ponggok. tersebut, jelas-jelas pelanggaran ham terhadap warga. Lagi-lagi Negara telah gagal dalam pemenuhan hak atas perumahan. Dalam prakteknya, pemenuhan hak atas perumahan masih jauh dari yang diharapkan karena berbagai kendala yang dihadapinya. Dalam sepuluh tahun, dari penambahan sekitar 12 juta unit rumah (1,2 juta unit pertahun), pemerintah hanya mampu membangun (menyediakan) sekitar 200.000 unit saja, baik yang dibangun oleh Perumnas maupun untuk keperluan rumah dinas pegawai pemerintah. Selebihnya swasta membangun 2 juta unit dan masyarakat sendiri 9,8 juta unit. Artinya dalam satu dekade berjalan pemerintah hanya mampu menyediakan rumah untuk rakyat sekitar 1 persen, serta memfasilitasi lewat pengembang swasta 14 persen dan masyarakat membangun sendiri 85 persen (Rumah untuk Rakyat, Panangian Simanungkalit, Selain negara gagal dalam menyediakan perumahan yang layak bagi warga negaranya, negara juga berperan besar dalam pelanggaran hak atas perumahan dan menyebabkan warga negara tidak memiliki rumah dengan melakukan berbagai penggusuran-pengggusuran, baik penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan umum ataupun penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan swasta atau bisnis semata. Sehingga sebagian warga yang bertempat tinggal di kampong beting remaja berstatus tidak jelas (pendatang tanpa identitas) akibat dari sikap pemerintah yang monoton tanpa melihat output dari kebijakan tersebut. Sedangkan UU Perumahan dan Permukiman juga belum melaksanakan amanat tentang Hak Atas Perumahan, sebagaimana diatur Konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28 H. Pertama, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.1
Kedua, setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ketiga, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Keempat, setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Faktanya, kini Indonesia masih membutuhkan hingga 9 juta unit rumah (Tempo Interaktif, 21 Juni 2010). Permasalahannya, tentu bukan hanya soal ketersediaan, akan tetapi juga soal akses, khususnya bagaimana masyarakat dapat memperolah rumah layak dengan kemampuannya yang terbatas. Meski konon warga miskin Indonesia ‘hanya’ 30%, naskah akademik RUU ini menyatakan bahwa 70% rumah tangga perkotaan masuk dalam kategori berpendapatan rendah, dengan pendapatan kurang dari Rp1,5 juta per bulan. Hal ini menunjukkan kebijakan perumahan yang tidak jelas, juga ketidakadilan akses.
  1. Hak-Hak Yang dilanggar
Sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan negara, UUD 1945 merupakan sumber hukum bagi semua perundangan dan peraturan yang secara hierarki berada di bawahnya serta berperan memberikan kaidah-kaidah penuntun bagi semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pembukaan UUD 1945 bahkan mengungkapkan tujuan nasional yang ingin diwujudkan bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Hak-hak yang dilanggar oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan, sesuai dengan amant Hak atas perumahan merupakan tanggung jawab negara untuk pemenuhannya, negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Tanggung jawab tersebut tegas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. 2
  1. Kewajiban Negara yang Dilanggar
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perumahan yang layak sebagai suatu komponen hak atas standar hidup yang layak. Hak atas perumahan yang layak meliputi, antara lain, hak untuk perlindungan terhadap campur tangan yang sewenang-wenang atau melanggar hukum terhadap privasi, keluarga, rumah, dan jaminan hukum kepemilikan.
Menurut hukum internasional, negara harus memastikan bahwa perlindungan terhadap warga negara, dan hak asasi manusia atas perumahan yang layak dan kepemilikan yang aman dijamin tanpa diskriminasi apapun atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya, asal nasional, etnis atau sosial, status hukum atau sosial, usia, cacat, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya.
Negara harus memastikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk perlindungan dan kenikmatan yang sama terhadap hak asasi manusia atas perumahan yang layak dan keamanan kepemilikan, sebagaimana tercermin dalam pedoman ini.
Semua orang, kelompok dan masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan pemukiman kembali, yang meliputi hak atas tanah alternatif yang lebih baik atau sama kualitasnya dan perumahan yang harus memenuhi kriteria layak berikut ini: aksesibilitas, keterjangkauan, kelayakhunian, keamanan kepemilikan, kecukupan budaya, kesesuaian lokasi, dan akses terhadap layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan.3
Negara harus memastikan bahwa hukum yang layak dan efektif atau perbaikan lainnya yang sesuai tersedia untuk setiap orang yang mengklaim bahwa haknya untuk mendapatkan perlindungan terhadap perumahan telah dilanggar atau sedang berada di bawah ancaman pelanggaran.
Negara harus menahan diri untuk mengajukan tindakan mundur apapun sehubungan dengan perlindungan de jure atau de facto terhadap pemenuhan hak warga Megara untk hidup sejahtera dan hidup yang layak. Negara harus merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan kegiatan internasionalnya yang sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia mereka, termasuk melalui pengejaran dan pengaturan tentang bantuan pembangunan internasional.
Kewajiban Negara dalam hal pemenuhan hak asasi manusa meliputi: (1) menghormati; (2) melindungi; (3) memenuhi. Kewajiban Negara dalam pelaksanaan hak atas perumahan dalam konteks menghormati adalah Negara mempunyai obligasi untuk menetapkan kebijakan atau hukum yang berkesesuaian dengan prinsip-prinsip pembangunan yang tinggi. Kewajiban Negara dalam konteks melindungi maksudnya adalah Negara wajib melindungi segenap warga negaranya beserta individu yang tinggal di bawah yurisdiksinya. Obligasi Negara dalam konteks memenuhi adalah kegagalan Negara dalam melakukan langkah-langkah dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan .
Dan upaya perlindungan hak atas perumahan telah dilakukan komunitas internasional sejak lama. Hak ini secara eksplisit termuat dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).2 Sejak 3 Januari 1976, Kovenan ini telah menjadi hukum internasional (entry into forced) dan lebih dari 140 negara di dunia telah meratifikasi salah satu kovenan induk ini. Penting untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam General Comment3 No. 4 United Nations (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights – selanjutnya akan disebut Komite.4 Hal ini dapat menjadi alat ukur (parameter) bagi perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Prinsip-prinsip utama dalam pemenenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti :
  1. Prinsip aksesibilitas (accessibility). Prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Dalam prinsip ini dikenal dengan pemenuhan perumahan berdasarkan prioritas, seperti akses perumahan untuk komunitas atau golongan yang tak beruntung (disadvantaged groups) dan komunitas yang rentan seperti individu lanjut usia (lansia), anak-anak, orang cacat, dan individu yang menderita penyakit kronis;
  2. Prinsip keterjangkauan/afordabilitas (affordability). Prinsip ini secara singkat bermakna bahwa setiap orang dalam praktik dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang;
  3. Prinsip habitabilitas (habitability). Prinsip ini juga merupakan prasyarat sebuah rumah dapat dikatakan ‘memadai’. Prinsip ini bermakna bahwa rumah yang didiami mesti memiliki luas yang cukup dan juga dapat melindungi penghuninya dari cuaca, seperti hujan, panas dan ancaman kesehatan bagi para penghuninya.
Selain prinsip-prinsip tersebut, konvensi-konvensi internasional juga memperkaya prinsip-prinsip pemenuhan hak atas perumahan ini, antara lain: pemenuhan hak ini mesti dilaksanakan tanpa pembedaan ras, warna kulit, atau kewarganegaraan, asal muasal etnis6; dipenuhi dengan beralas persamaan hak atara laki-laki dan perempuan7; difasilitasi dalam rangka membantu para orang tua untuk memberikan perlindungan hak anak-anak atas tempat tinggal yang memadai.8 International Labour Organization (ILO) juga menetapkan dua konvensi yang memuat hak atas perumahan.9 Sementara, perhatian pemenuhan hak atas perumahan bagi pengungsi dimuat dalam International Convention Relating to the Status of Refugees (1951).4
Pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, baik berupa acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal kegagalannya untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu:
1. Kewajiban untuk menghormati (respect)
Kewajiban ini menuntut negara, dan semua aparaturnya untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka.
2. Kewajiban untuk melindungi (protect)
Kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparaturnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka.
3. Kewajiban untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.

  1. Upaya Yang Dilakukan
Upaya yang harus dilakukan saat ini diantaranya ;
1. Saatnya segenap warga Negara mempromosikan dan mendesak hak perumahan sebagai hak yang justiciable. Justisiabilitas hak rakyat atas perumahan mempunyai makna peluang bagi rakyat untuk menggunakan mekanisme yudisial sebagai alat untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas perumahan, baik dengan melakukan gugatan atau megeksaminasi hak ini lewat pengadilan maupun mekanisme yudisial lainnya atau pun mediasi. Dalam klasifikasi meta-legal, klaim rakyat atas perumahan dapat berwujud pendudukan rumah-rumah pejabat yang didapat dari hasil korupsi.
2. Semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan monitoring terhadap realisasi progresif Negara, seperti memantau penyelenggaraan pembangunan rumah-rumah rakyat (public housing) yang ditujukan pada kelompok masyarakat yang sangat terbatas penghasilannya serta mereview kebijakan-kebijakan Negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti kebijakan kredit perumahan rakyat, terutama kaitannya dengan penyelenggaraan perumahan sosial (social housing). Monitoring sebaiknya dikaitakan dengan isu sumber dana dan
pengalokasian anggaran, baik nasional maupun lokal.
3. Saat ini diperlukan peran aktif dari Komnas HAM. Karena sesuai pasal 18 UU Pengadilan HAM, Komnas diberi otoritas untuk melakukan penyelidikkan kejahatan HAM berat. Komnas HAM dapat membentuk Tim untuk fungsi ini dengan melibatkan elemen masyarakat. Setidaknya, ada dua alasan pokok, mengapa Komnas HAM harus menyelidiki kasus-kasus penggusuran paksa. Pertama, peristiwa penggusuran paksa merupakan tragedi kemanusiaan. Fungsi dan peran Komnas HAM dalam konteks ini merupakan bagian dari promosi dan bentuk perlindungan HAM yang dilakukan lembaga ini. Kedua, mencegah peristiwa lainnya, dimana
orang-orang berduit dengan sewenang-wenang bisa menjadi tirani di seluruh wilayah
Republik Indonesia.

BAB III
Kesimpulan

Kewajiban Negara dalam hal pemenuhan hak asasi manusa meliputi: (1) menghormati; (2) melindungi; (3) memenuhi. Kewajiban Negara dalam pelaksanaan hak atas perumahan dalam konteks menghormati adalah Negara mempunyai obligasi untuk menetapkan kebijakan atau hukum yang berkesesuaian dengan prinsip-prinsip pembangunan yang tinggi. Kewajiban Negara dalam konteks melindungi maksudnya adalah Negara wajib melindungi segenap warga negaranya beserta individu yang tinggal di bawah yurisdiksinya. Obligasi Negara dalam konteks memenuhi adalah kegagalan Negara dalam melakukan langkah-langkah dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan .
Negara berkewajiban untuk menggunakan semua sumber daya yang tersedia (all available resources) untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi tiap individu untuk menikmati tempat tinggal yang layak. Artinya, tidak ada alasan bagi Negara untuk tidak menciptakan perumahan yang tak layak hunie dan layak bagi individu karena tidak tersedianya anggaran, terlebih lagi dalam hal ini kewajiban Negara adalah lebih proaktif dalam melakukan peninjauan terhadap rumah warga yang tak layak dihuni agar tetap layak huni dengan bentuk konstruksi lebih efesiaen, serta memulihkan kembali rumah-rumah warg udara yang terlanjur rusak agar pelanggaran terhadap hak kesehatan tersebut tidak menjadi delik berlanjut (voorgezette delicten). Kebijakan Negara yang untuk tidak mengalokasikan anggaran untuk program-program dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan adalah cermin ketidakberpihakan pemerintah kepada pelaksanaan hak asasi manusia yang menjadi poin penting dalam legez fundamentalis. Dalam hal ini Negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam konteks Negara tidak menghormati hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
. Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991 dan UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.
Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif Hukum Internasional, Bahan Ajar Kuliah Hukum HAM Internasional Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2007.
Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991.

Lihat UN doc. Covention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), art. 5(e) (iii).
UN doc. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)., art.
14(2) (h). Lihat juga yang memuat pengakuan persamaan perempuan dalam UN doc. Commission on Human
Rights Res. 2000/13kepemilikan, akses dan kontrol hak atas tanah, properti dan perumahan.
UN doc. Convention on the Rights of the Child (CRC)., art. 27 (3).
ILO Convention No. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples dan No. 161 concerning Occupational
Health Services (1985).

1 . Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991 dan UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.

2 Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif Hukum Internasional, Bahan Ajar Kuliah Hukum HAM Internasional Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2007.

3 Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991.


4 Lihat UN doc. Covention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), art. 5(e) (iii).
UN doc. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)., art.
14(2) (h). Lihat juga yang memuat pengakuan persamaan perempuan dalam UN doc. Commission on Human
Rights Res. 2000/13kepemilikan, akses dan kontrol hak atas tanah, properti dan perumahan.
UN doc. Convention on the Rights of the Child (CRC)., art. 27 (3).
ILO Convention No. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples dan No. 161 concerning Occupational
Health Services (1985).

Hukum Adat


Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Hukum adat di Indonesia

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
   1. Hukum Adat mengenai tata negara
   2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
   3. Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje,Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.



 Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:

   1. Aceh
   2. Gayo dan Batak
   3. Nias dan sekitarnya
   4. Minangkabau
   5. Mentawai
   6. Sumatra Selatan
   7. Enggano
   8. Melayu
   9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
   2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
   3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.



Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
   1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
   2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat                     hukum adat (Pasal 2 dan 5).
   3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.




Daftar Pustaka

    * Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
    * Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
    * Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
    * Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
    * Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
    * Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
    * Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
    * Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
    * Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
    * Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia

Minggu, 20 November 2011

TANGGUNG JAWAB KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI




 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Semula, pemikiran dalam mempertanggungjawabkan perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia yang mempunyai kehendak atau keinsyafan untuk melakukannya. Karena badan hukum tidak bisa bertindak melakukan perbuatan hukum dan tidak mempunyai jiwa atau keinsyafan untuk itu. Pemikiran seperti ini tetap dipertahankan terutama oleh pemikir-pemikir masa lalu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya muncul pemikiran-pemikiran baru untuk juga mempertanggungjawabkan kepada badan hukum karena akhir-akhir ini dalam perkembangan dari kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terutama berkaitan atau yang menyangkut dengan perkembangan ekonomi tidak hanya dilakukan secara perorangan namun telah terorganisir termasuk dilakukan oleh korporasi.
Berkaitan dengan tindak pidana / kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum (korporasi), jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini diterapkan di Indonesia, tidak ada ditemui secara tegas pengaturan tentang tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum (korporasi) berikut dengan pengaturan sanksi hukum tersebut. KUHP hanya mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu.
Pembatasan pengertian inilah yang telah menutupi atau melindungi badan hukum dari segala tindak kejahatan yang telah dilakukan. Dengan mengatasnamakan badan hukum (korporasi) para pelaku menjadi aman dan terlindungi dari jerat hukum dan dapat bebas bertindak.
Tidak ada sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut karena pada saat itu tidak ada pengaturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana bagi badan hukum. Tuntutan-tuntutan yang dapat dimintakan hanya berkaitan dalam lingkup keperdataan saja misalnya dengan meminta pembayaran ganti kerugian karena tindakan badan hukum keperdataan yang telah merugikan subjek hukum lain.

B.     PERMASALAHAN

Dengan adanya tindak pidana yang tidak diatur didalam KUHP agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvaccum) maka diberlakukan Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana Khusus adalah UU Pidana yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum, baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Penyimpangan – penyimpangan tersebut diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Salah satu contoh UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 ( Mengenai Hukum Pidana Ekonomi).
Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain. Salah satunya adalah adanya perluasan dalam subjek hukum tindak pidana ekonomi,yaitu dapat dip benarnya apa yang dinamakan badan hukum itu? Badan hukum adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya idananya korporasi (badan hukum) hal inilah yang tidak terdapat didalam KUHP. Akibatnya, disamping perorangan badan hukum atau korporasi juga dapat dijatuhi hukuman. Badan hukum seperti perseroan, perserikatan dll dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang - orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan badan tersebut.
Se pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah. Namun, yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan. Oleh karena itu dengan adanya hukum pidana ekonomi diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan.
Dengan adanya pertanggungjawaban yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum seperti diatas, maka :
1. Sebenarnya sejauh apa tanggung jawab korporasi ( badan hukum) jika terjadi suatu tindak pidana ekonomi ?
2. Jenis hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

TANGGUNG JAWAB KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI


Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan              dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk    mengadakan kesatuan (univikasi) dalam peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pidana ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP).

A.    KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM TINDAK PIDANA EKONOMI

Berbeda dengan apa yang diatur dalam KUHP maka dalam UUTPE ini disamping orang alami, juga diakui badan hukum / korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Hal ini ternyata dari apa yang diatur dalam pasal 15 UUTPE yang menyatakan :
1. Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman penjara serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan orang atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukuan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu ataupun keduanya.
2. Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, jika tindakan itu dilakukan orang – orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang orang itu masning masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama – sama ada anasir – anasir tindak pidana tersebut.
3. Jika suatu tuntutn pidana dilakukan terhadap suatu badan, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka, badan hukum, perseroan atau yayasan itu pada waktu penuntutan diwakili oleh seseorang pengurus atau jika ada lebuh dari seorang dari mereka itu. Wakil dapat mewakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintah supaya orang pengurus menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.
4. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum suatu perseroan, suatu prikatan orang atau suatu yayasan. Maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat – surat panggilan itu dilakukan kepada kepala pengurus atau ditempat tinggal kepala pegurus itu atau ditempat pengurus bersidang dan berkantor.
Dari apa yang ditentukan dalam pasal 15 UUTPE tersebut diatas, ternyata untuk dapatnya suatu tindak pidana ekonomi oleh undang – undang dianggap dilakukan oleh suatu korporasi haruslah memenuhi syarat – syarat tertentu ialah :
“ Bahwa tindak pidana Ekonomi tersebut dilakukan oleh orang – orang yang ada hubungan kerja, ada hubungan yang bertindak dalam liingkungan (suasana) badan hukum atau korporasi tersebut”
Yang dimaksud dengan hubungan kerja dalam UUTPE ialah hubungan hukum antara majikan dan buruh. Sedangkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum disini haruslah diartikan sebagai lingkungan aktivitas badan hukum tersebut.
Hal ini mengingat bahwa dalam istilah belandanya ialah sfeer van de rechtspersoon (didalam lingkungan suasana aktivitas badan hukum)
Dalam hal ini suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh korporasi/badan hukum. Maka yang bertanggung jawab secara hukum pidana adalah :
a. Badan hukum atau korporasi tersebut
b. Orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan
c. Atau kedua – duanya
Dengan demikian, maka dalam TPE selain orang yang menjadi subjek hukum juga mengenal pertanggungjawaban pidana untuk korporasi/badan hukum.
Dengan adanya pasal 15 UUTPE memberikan kemungkinan untuk mengadakan penuntutan dan penghukuman terhadap korporasi – korporasi, perseroan, perserikatan, yayasan. Sedangkan KUHP hanya mengenal seorang perorangan “natuurlijke personen” saja sebagai subjek tindak pidana maupun sebagai objek penghukuman.
Kenyataannya badan – badan hukum tersebut mempunyai kehendak (niat) yang dinyatakan dalam bentuk keputusan melalui alat – alatnya seperti rapat direksi / pengurus, rapat anggota, rapat pemegang saham, rapat perwakilan, rapat dewan dan sebagainya.
Apabila badan – badan ini oleh hukum diberikan hak untuk dapat melakukan perbuatan – perbuatan sebagai orang dengan perantaraan alat – alatnya, dapat juga terjadi, bahwa tindakan – tindakan dari badan – badan tersebut sengaja ataupun tidak sengaja yang dilakukan oleh orang menjadi alat alat dari badan tersebut adalah salah atau melanggar ketentuan – ketentuan dalam peraturan pidana.
Berhubung kesalahan ini merupakan kesalahan bersama, maka kesalahan ini dapat dibebankan kepada salah seorang anggota atau pengurusnya/direksinya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulakan bahwa tindakan tata tertib lebih banyak bertujuan mengadakan bimbingan dengan jalan pendidikan, treatment atau dengan sarana terapi lainnya untuk mencapai suatu hasil yang tidak dapat dicapai.

B.     JENIS – JENIS HUKUMAN YANG DAPAT DIJATUHKAN DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI

Didalam UUTPE ditentukan ada tiga jenis hukuman yang dapat dijatuhkan apabila terjadi tindak pidana ekonomi :
1. Pidana Pokok (Pasal 6 UUTPE)
2. Pidana Tambahan (Pasal 7 UUTPE)
3. Tindakan Tata Tertib (Pasal 8 UUTPE)
1.      PIDANA POKOK

Dalam hukuman – hukuman yang diancamkan terhadap setiap jenis tindak pidana ekonomi, hukuman badan dan hukuman denda tetap merupakan hukuman pokok yang memegang peranan penting. Hukuman – hukuman yang berat ini memberikan sifat (gambaran) yang seram kepada hukuman terhadap setiap tindak pidana ekonomi.
Didalam penjatuhan pidana pokok UUTPE ini menganut “Asas Kumulatif” dengan ketentuan ini hakim dapat menjatuhkan hukuman secara kumulatif dua jenis hukuman pokok. Baik hukuman penjara maupun hukuman kurungan dapat saja dikumulatifkan dengan hukuman denda. Bahkan PERPU No 21 tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi mewajibkan hakim untuk menjatuhkan dua hukuman pokok sekaligus. Meskipun ancaman – ancaman hukuman didalam UUTPE sudah dirasakan berat, Pemerintah merasakannya masih ringan, berhubung akibat – akibat buruk yang dapat ditimbulkan oleh tindak pidana ekonomi atas kehidupan ekonomi negara. Ancaman hukuman berat dimaksudkan agar preinsip “prevensi general” tercapai.

2.      PIDANA TAMBAHAN

Disamping hukuman pokok tersebut di atas, hukuman - hukuman tambahan mempunyai kedudukan dan peranan yang lebih penting dari pada hukuman dalam tindak pidana umum. Hukuman tambahan dalam pasal 7 ayat 1 dapat diperinci sebagai berikut :
a. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 KUHP untuk waktu sekurang kurangnya enam bulan dan selama – lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkannya hukuman denda sekurang kurangnya enam bulan dan selama lamanya enam tahun.
b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan siterhukum dimana tindak pidana ekonomi dilakukan dalam waktu selama lamanya satu tahun.
c. Perampasan barang barang yang berwujud maupun yang tak berwujud hal ini meliputi :
• Dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan
• Yang sebagian atau seluruhnya diperoleh dengan tindak pidana itu
• Harga lawan yang menggantikan barang itu, tanpa memperhatikan apakah barang atau harga lawan tersebut milik siterhukum atau bukan miliknya.
d. Perampasan barang barang tak tetap yang berwujud atau tak berwujud hal ini meliputi :
• Yang termasuk perusahaan si terhukum dimana tindak pidana itu dilakukan
• Harga lawan yang menggantikan barang itu, tanpa memperhatikan apakah barang atau harga lawan tersebut milik siterhukum atau bukan miliknya akan tetapi sekedar barang barang itu sejenis dan mengenai tindak pidananya dan bersangkutan dengan barang yang dirampas menurut ketentuan tersebut dalam pasal 7 ayat 1 sub c
e. Pencabutan seluruh atau sebagian hak – hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan kepada siterhukum oleh pemerintah untuk waktu selambat lambatnya dua tahun.
f. Pengumuman putusan hakim.
Dalam hal perampasan barang terdapat perluasan dari ketentuan KUHP karena meliputi barang barang yang tidak hanya milik siterhukum tetapi juga sampai pada barang – barang milik pihak ketiga.
Dengan demikian hal ini menyimpang dari apa yang ditentukan dalam pasal 39 KUHP, dimana dalam hal perampasan hanya terbatas pada :
a. Barang – barang milik si terhukum yang dijadikan alat untuk melakukan kejahatan (instrumenta delicti)
b. Barang barang milik siterhukum yang merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh siterhukum (corpora delicti)
Selain dari pada itu pasal 9 UUTPE juga mengatur mengenai penutupan seluruh atau sebagian perusahaan siterhukum
Sebagai pengecualian (exception) dari perampasan barang milik pihak ketiga ialah dalam hal hak – hak pihak ketiga yang beritikad baik akan terganggu akan adanya perampasan tersebut.

3.      TINDAKAN TATA TERTIB

UUTPE menambahkan suatu jenis hukuman, yaitu hukuman tambahan dalam bentuk tindakan – tindakan tata – tertib yang tidak terdapat didalam KUHP, hal mana merupakan tindakan atau tata tertib yang pada hakekatnya menunjukan aspek “bestuus – rechtelijk” dan yang dapat dikenakan di samping hukuman tambahan lainnya. Pasal 8 menyebutkan empat jenis tindakan tata tertib :
1. Penempatan Perusahaan Dibawah Pengampuan
Pengampuan :
? Dapat dilakukan terhadap suatu perusahaan
? Dimana selalu dilakukan kecurangan kecurangan
? Dimana selalu terjadi kelalaian dalam memenuhi peraturan – peraturan yang diadakan untuk peningkatan produktifitasnya
? Apabila penutupan perusahaan dianggap tidak sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah berhubung perusahaan itu bergerak dibidang produksi dan distribusi.
Pengampuan ini dapat ditafsirkan dalam beberapa hal sebagai pengawasan. Pengampuan adalah menempatkan perusahaan dalam pengawasan semua kegiatan perusahaan itu diawasi secara ketat guna menghindarkan dilakukan pelanggaran kembali yang dapat merugikan kehidupan ekononomi negara. Pengampuan ini dapat berlangsung dalam 3 tahun dalam hal kejahatan ekonomi dan selama 2 tahun dalam hal pelanggaran ekonomi. Pengaturan ini dilakukan oleh hakim yang dalam hal ini hakim pidana bertindak sebagai hakim perdata.
2. Kewajiban Pembayaran Uang Jaminan
Pembayaran uang jaminan ini merupakan pembayaran denda bersyarat. Terhadap uang jaminan ini menurut pasal 12 diberlakukan ketentuan ketentuan hukum pidana pada umumnya. Pembayaran hukuman denda ini bersifat hukuman denda bersyarat berhubung uang yang telah dibayar akan menjadi milik negara apabila salah satu syaratnya yang telah ditetapjkan tidak dipenuhui.
3. Kewajiban Membayar Sejumlah Uang Sebagai Pencabutan Keuntungan
Diwajibkan melakukan pembayaran sejumlah uang yang diambil/dicabut dari keuntungan yang ditaksir telah diperoleh dari suatu tindak pidana yang dilakukan siterhukum. Kuntungan yang diperoleh dari perbuatan melanggar hukum tersebut dianggap merugikan masyarakat, setidak tidaknya merugikan negara berhubung dapat mengacaukan kelancaran kehidupan ekonomi negara. Pencabutan keuntungan ini gugur karena meninggalnya si terhukum.
4. Kewajiban Mengerjakan Apa Yang Dilalaikan Tanpa Hak Atau Meniadakan Apa Yang Dilakukan Tanpa Hak
Kewajiban ini merupakan jasa – jasa untuk memperbaiki akibat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan perbuatan yang telah dilakukan tanpa hak. Hak ini mirip sekali dengan pembayaran uang paksa dibiudang hukum perdata dalam hal seseorang melalaikan kewajiban mengerjakan sesuatu yang telah ditetapkan dengan putusan hakim atas tuntutan orang lain. Tetapi dalam UUTPE kewajiban melakukan sesuatu itu merupakan hukuman tersendiri.

BAB III
PENUTUP

Setelah kita membaca pembahasan megenai sejauh mana tanggung jawab korporasi sebagai subjek hukum diatas maka kesimpulan yang diperoleh adalah :

1. Ketika menjalankan tanggung jawabnya tidak dapat dipungkiri bahwa Korporasi / badan hukum dalam melakukan tindak pidana ekonomi tersebut, tidak lain hal itu dilakukan oleh orang orang yang menjadi alat - alat dari badan / korporasi tersebut. Hal ini sesuai dengan syarat – syarat sebagaimana diatur dalam pasal 15 UUTPE yaitu : “Bahwa tindak pidana Ekonomi tersebut dilakukan oleh orang – orang yang ada hubungan kerja, ada hubungan yang bertindak dalam liingkungan (suasana) badan hukum atau korporasi tersebut” jadi dapat disimpulkan bahwa korporasi meliliki tanggung jawab penuh terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan oleh orang – orang yang memiliki hubungan kerja terhadap badan hukum atau korporasi tersebut. Tentu saja tindakan tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang – orang yang memiliki hubungan kerja terhadap badan hukum tersebut dan melakukan tindakan yang sesuai dengan perintah dan kewenangannya.
2. Didalam UUTPE korporasi atau badan hukum memiliki pertanggungjawaban pidana karena dianggap sebagai subjek hukum. Akibatnya suatu korporasi / badan hukum dapat dijatuhui hukuman pidana. Tentunya dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi itu berbeda dengan penjatuhan pidana terhadap subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon), karena tidak mungkin suatu badan hukum dijatuhi pidana penjara ataupun kurungan. Jadi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana ekonomi antara lain :
a. Pidana pokok yang berupa penjatuhan denda kepada korporasi tersebut
b. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak hak tertentu, penutupan seluruhnya ataupun sebagian perusahaan, perampasan terhadap barang - barang dan juga bisa sampai dengan diumumkannya putusan hakim terhadap masyarakat.
c. Tindakan tata tertib yang dapat dilakukan berupa menempatkan perusahaan dibawah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, pengembalian keadaan dan adanya pembayaran uang paksa.

BAB IV
Kesimpulan

Perkembangan kegiatan bisnis yang telah melahirkan jenis-jenis kejahatan baru, maka hukum pidana moderen telah menggambarkan bahwa, dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatan secara fisik, karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum, legal person) yang dilakukan dalam lalu lintas kemasyarakatan1. Selain itu, bentuk pengakuan terhadap lahirnya jenis-jenis tindak pidana baru (khususnya yang dilakukan oleh korporasi), telah diakui juga oleh organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada The integrity of national financial industries



Bab V
DAFTAR BACAAN

1. Brig.Jend.Pol.Drs.H.A.K.Moch. Anwar SH
“Hukum Pidana dibidang Ekonomi: Tahun 1990
2. TJIPTO SOEROSO. SH
“Hukum Pidana Perekonomian” Tahun 1990
3. Sally S. Simpson, Ibid.
4. H Loebby Loqman,, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, 2005, hal. 3.
5. M Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Jawa Timur, 2006, hal. 211-212.
6. M Arief Amrullah, Ibid, hal. 201.
7. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung, 1989, hal. 55.
8. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4
9. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, Ibid.

Kedudukan Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Masa Kini


Posted Nopember 27th, 2008 by Redaksi
·      Ilmu Hukum Pidana
Perkembangan kegiatan bisnis yang telah melahirkan jenis-jenis kejahatan baru, maka hukum pidana moderen telah menggambarkan bahwa, dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatan secara fisik, karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum, legal person) yang dilakukan dalam lalu lintas kemasyarakatan1. Selain itu, bentuk pengakuan terhadap lahirnya jenis-jenis tindak pidana baru (khususnya yang dilakukan oleh korporasi), telah diakui juga oleh organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada The integrity of national financial industries
Apabila meninjau lebih dalam mengenai ”kejahatan korporasi”, maka pengertian dasar dari “kejahatan korporasi” menurut Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa, “any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”.2 (Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”). Sedangkan menurut John Braithwaite menjelaskan bahwa, conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.3
Pendapat-pendapat di atas, telah didukung dengan pandangan Simpson yang menjelaskan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Seperti :4
1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Oleh karena itu, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana,tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2. Korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktik yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, sehingga memungkinkan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Menurut Loebby Loqman, yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum.5 Sedangkan Gillies berpandangan bahwa, korporasi atau perusahaan yakni orang atau manusia di mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, maka diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak, dan dapat dipertanggung jawabkan atas kejahatan yang dilakukan.6
Apabila meninjau pandangan Subekti, maka badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi.7 Selain itu, lahirnya korporet sebagai pelaku kejahatan menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan berbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi, sehingga timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.8
Berdasarkan atas tindakan-tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, maka terdapat doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.9
Penerapan doktrin di atas, memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis.10
Meninjau pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang pada masa ini masih berlaku dan dijadikan payung hukum pidana, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara tegas belum menerapkan prinsip-prinsip kejahatan korporasi (korporasi sebagai pelaku). Oleh karena itu. Walaupun demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur mengenai pengurus korporasi yang melakukan “kejahatan korporasi” dengan atas nama korporasi atau perusahaan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 398 KUHP yang menjelaskan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan dan “jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…”. Walaupun demikian, pada perkembangannya korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya Undang-Undang Darurat Nomor. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1964 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahunn 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Daftar Pustaka
1. Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya-Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” (Pidato Dies Natalis ke-47 PTIK), Juni 1993.
2. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.
3. Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory, 1993), hal. 171.
4. Sally S. Simpson, Ibid.
5. H Loebby Loqman,, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, 2005, hal. 3.
6. M Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Jawa Timur, 2006, hal. 211-212.
7. M Arief Amrullah, Ibid, hal. 201.
8. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Eresco, Bandung, 1989, hal. 55.
9. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4
10. Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, Ibid.

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.


Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.





Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.


Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.