Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Senin, 21 November 2011

PELANGGARAN HAM TERHADAP WARGA NEGARA UNTUK MENDAPATKAN HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Rumah, bagi banyak orang tidak menjadi kata sakral. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Padahal, rumah adalah bangunan dasar, fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain, dampak negatif bahkan ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada individuindividu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses) perumahan,
kehidupan pribadi, maupun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to a adequate standard of living).1 Hak rakyat atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia (HAM) seringkali dipersamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup. Karena hak ini berkaitan dengan hidup seseorang, maka rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (adequate housing). Kata ‘memadai’ ini menjadi penting untuk membedakan pendefinisian kata ‘rumah’ menjadi tidak sekadar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap.
Perihal demikian, sering terjadinya. Ketidak seimbangan hak dari pemeritah dalam melakukan konstruksi Rumah, dominan kepada bentuk pembangunan yang dilihat dari kuarter bangunan. Dalam artian, ketika adanya penggusuran, maupun bencana alam. Hal demikian manrik saya untuk melihat lebih jauh lagi tekait dengan pemenuhan hak warga Negara dalam mendapatkan penghidupan yang layak, tidak serta merta pembangunan tersebut didapatkan secara signifikan. Seperti yang dilansir jawa pos, dua suami istri, miran,70, dan bibit, 50, kedua suami istri tersebut hidup bersama dengan seekor kambing, digubuk yang mereka diami. Juga tidak terdaftarnya warga disekitar Jakarta utara, untuk masuk dalam institusi Rt dan RW. Karna lahan yang ditempati warga, bermasalah dengan huku. Sehingga kondisi wilayah mulai dari bangunan hingga lingkungan penuh dengan kotoran. Bukan Cuma hal demikian, status warga Negara, untuk memiliki KTP, dan KK, tidak demiliki warga.
Berangkat dari fenomena, seharusnya setiap warga Negara memiliki hak ekosop yang sama dengan warga lain’’. Sehingga Artikel ini, saya angkat dengan judul. PELANGGARAN HAM TERHADAP WARGA NEGARA UNTUK MENDAPATKAN HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK.Yang merupakan tanggung jawab negara untuk pemenuhannya, negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Tanggung jawab tersebut tegas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

RumusanMasalah
  1. Bagaimana implementasi pemenuhan hak atas perumahan oleh Negara?
  2. Siapakah yang bertanggungjawab untuk pemenuhan hak atas perumahan?
  3. Bagaimanakah sebenarnya relisasi pemeliharaan oleh negara yang dikehendaki oleh konstitusi,kovenen Internasional,Duham,Iccpr?

BAB II
PEMBAHASN
  1. Kasusu posisi
  • Kausus yang pertama; pasangan suami istri mira,70,dan bibit,50, yang hidup dalam keterbatasan, kedua pasangan terseut hidup dalam gubuk yang mereka diami, sekaligus menjadi kandang kambing. Kambing itu merupakan satu-satunya harta berharga yang dimiliki warga dusun bandungerjo,desa pogok,kecamatan pongggok. Meski berstatus kambing paron atau bagi hasil dengan warga lain, mereka tetap emelihara dengan penuh tanggung jawab. Untuk makan dan minum sehari-hari, mereka mengandalkan ngasak atau mungut disawah. Untuk mendapatkan bantuan/beras murah, dari pemerintah dengan ketentuan satu bula sekali.
  • Kasus yang kedua; warga dijakarta utara/ kampung banting remaja, yang hidup layaknya tak bernegara’ kondisi kampong yang tak teratur, mulai dari bangunan rumah hingga status kampong tak termasuk dalam institusi Rt dan RW. Sebagian besar warga dikampung kampung banting remaja sebatas pemulung,pengojek sepeda, pengamen,sopir, dan pekerja seks komersial. Dengan pendapatan rata-rata perkeluarga perhari tak lebih dari 25.000.

  1. Analisis pelanggaran HAM
Menurut saya dengan tidak adilnya pemberlakuan pemerintah dalam mensejaahterakan rakyat seperti yang terjadi di daerah Jakarta utara dan kecamatan ponggok. tersebut, jelas-jelas pelanggaran ham terhadap warga. Lagi-lagi Negara telah gagal dalam pemenuhan hak atas perumahan. Dalam prakteknya, pemenuhan hak atas perumahan masih jauh dari yang diharapkan karena berbagai kendala yang dihadapinya. Dalam sepuluh tahun, dari penambahan sekitar 12 juta unit rumah (1,2 juta unit pertahun), pemerintah hanya mampu membangun (menyediakan) sekitar 200.000 unit saja, baik yang dibangun oleh Perumnas maupun untuk keperluan rumah dinas pegawai pemerintah. Selebihnya swasta membangun 2 juta unit dan masyarakat sendiri 9,8 juta unit. Artinya dalam satu dekade berjalan pemerintah hanya mampu menyediakan rumah untuk rakyat sekitar 1 persen, serta memfasilitasi lewat pengembang swasta 14 persen dan masyarakat membangun sendiri 85 persen (Rumah untuk Rakyat, Panangian Simanungkalit, Selain negara gagal dalam menyediakan perumahan yang layak bagi warga negaranya, negara juga berperan besar dalam pelanggaran hak atas perumahan dan menyebabkan warga negara tidak memiliki rumah dengan melakukan berbagai penggusuran-pengggusuran, baik penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan umum ataupun penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan swasta atau bisnis semata. Sehingga sebagian warga yang bertempat tinggal di kampong beting remaja berstatus tidak jelas (pendatang tanpa identitas) akibat dari sikap pemerintah yang monoton tanpa melihat output dari kebijakan tersebut. Sedangkan UU Perumahan dan Permukiman juga belum melaksanakan amanat tentang Hak Atas Perumahan, sebagaimana diatur Konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28 H. Pertama, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.1
Kedua, setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ketiga, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Keempat, setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Faktanya, kini Indonesia masih membutuhkan hingga 9 juta unit rumah (Tempo Interaktif, 21 Juni 2010). Permasalahannya, tentu bukan hanya soal ketersediaan, akan tetapi juga soal akses, khususnya bagaimana masyarakat dapat memperolah rumah layak dengan kemampuannya yang terbatas. Meski konon warga miskin Indonesia ‘hanya’ 30%, naskah akademik RUU ini menyatakan bahwa 70% rumah tangga perkotaan masuk dalam kategori berpendapatan rendah, dengan pendapatan kurang dari Rp1,5 juta per bulan. Hal ini menunjukkan kebijakan perumahan yang tidak jelas, juga ketidakadilan akses.
  1. Hak-Hak Yang dilanggar
Sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan negara, UUD 1945 merupakan sumber hukum bagi semua perundangan dan peraturan yang secara hierarki berada di bawahnya serta berperan memberikan kaidah-kaidah penuntun bagi semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pembukaan UUD 1945 bahkan mengungkapkan tujuan nasional yang ingin diwujudkan bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Hak-hak yang dilanggar oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan, sesuai dengan amant Hak atas perumahan merupakan tanggung jawab negara untuk pemenuhannya, negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Tanggung jawab tersebut tegas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. 2
  1. Kewajiban Negara yang Dilanggar
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perumahan yang layak sebagai suatu komponen hak atas standar hidup yang layak. Hak atas perumahan yang layak meliputi, antara lain, hak untuk perlindungan terhadap campur tangan yang sewenang-wenang atau melanggar hukum terhadap privasi, keluarga, rumah, dan jaminan hukum kepemilikan.
Menurut hukum internasional, negara harus memastikan bahwa perlindungan terhadap warga negara, dan hak asasi manusia atas perumahan yang layak dan kepemilikan yang aman dijamin tanpa diskriminasi apapun atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya, asal nasional, etnis atau sosial, status hukum atau sosial, usia, cacat, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya.
Negara harus memastikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk perlindungan dan kenikmatan yang sama terhadap hak asasi manusia atas perumahan yang layak dan keamanan kepemilikan, sebagaimana tercermin dalam pedoman ini.
Semua orang, kelompok dan masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan pemukiman kembali, yang meliputi hak atas tanah alternatif yang lebih baik atau sama kualitasnya dan perumahan yang harus memenuhi kriteria layak berikut ini: aksesibilitas, keterjangkauan, kelayakhunian, keamanan kepemilikan, kecukupan budaya, kesesuaian lokasi, dan akses terhadap layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan.3
Negara harus memastikan bahwa hukum yang layak dan efektif atau perbaikan lainnya yang sesuai tersedia untuk setiap orang yang mengklaim bahwa haknya untuk mendapatkan perlindungan terhadap perumahan telah dilanggar atau sedang berada di bawah ancaman pelanggaran.
Negara harus menahan diri untuk mengajukan tindakan mundur apapun sehubungan dengan perlindungan de jure atau de facto terhadap pemenuhan hak warga Megara untk hidup sejahtera dan hidup yang layak. Negara harus merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan kegiatan internasionalnya yang sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia mereka, termasuk melalui pengejaran dan pengaturan tentang bantuan pembangunan internasional.
Kewajiban Negara dalam hal pemenuhan hak asasi manusa meliputi: (1) menghormati; (2) melindungi; (3) memenuhi. Kewajiban Negara dalam pelaksanaan hak atas perumahan dalam konteks menghormati adalah Negara mempunyai obligasi untuk menetapkan kebijakan atau hukum yang berkesesuaian dengan prinsip-prinsip pembangunan yang tinggi. Kewajiban Negara dalam konteks melindungi maksudnya adalah Negara wajib melindungi segenap warga negaranya beserta individu yang tinggal di bawah yurisdiksinya. Obligasi Negara dalam konteks memenuhi adalah kegagalan Negara dalam melakukan langkah-langkah dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan .
Dan upaya perlindungan hak atas perumahan telah dilakukan komunitas internasional sejak lama. Hak ini secara eksplisit termuat dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).2 Sejak 3 Januari 1976, Kovenan ini telah menjadi hukum internasional (entry into forced) dan lebih dari 140 negara di dunia telah meratifikasi salah satu kovenan induk ini. Penting untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam General Comment3 No. 4 United Nations (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights – selanjutnya akan disebut Komite.4 Hal ini dapat menjadi alat ukur (parameter) bagi perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Prinsip-prinsip utama dalam pemenenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti :
  1. Prinsip aksesibilitas (accessibility). Prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Dalam prinsip ini dikenal dengan pemenuhan perumahan berdasarkan prioritas, seperti akses perumahan untuk komunitas atau golongan yang tak beruntung (disadvantaged groups) dan komunitas yang rentan seperti individu lanjut usia (lansia), anak-anak, orang cacat, dan individu yang menderita penyakit kronis;
  2. Prinsip keterjangkauan/afordabilitas (affordability). Prinsip ini secara singkat bermakna bahwa setiap orang dalam praktik dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang;
  3. Prinsip habitabilitas (habitability). Prinsip ini juga merupakan prasyarat sebuah rumah dapat dikatakan ‘memadai’. Prinsip ini bermakna bahwa rumah yang didiami mesti memiliki luas yang cukup dan juga dapat melindungi penghuninya dari cuaca, seperti hujan, panas dan ancaman kesehatan bagi para penghuninya.
Selain prinsip-prinsip tersebut, konvensi-konvensi internasional juga memperkaya prinsip-prinsip pemenuhan hak atas perumahan ini, antara lain: pemenuhan hak ini mesti dilaksanakan tanpa pembedaan ras, warna kulit, atau kewarganegaraan, asal muasal etnis6; dipenuhi dengan beralas persamaan hak atara laki-laki dan perempuan7; difasilitasi dalam rangka membantu para orang tua untuk memberikan perlindungan hak anak-anak atas tempat tinggal yang memadai.8 International Labour Organization (ILO) juga menetapkan dua konvensi yang memuat hak atas perumahan.9 Sementara, perhatian pemenuhan hak atas perumahan bagi pengungsi dimuat dalam International Convention Relating to the Status of Refugees (1951).4
Pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, baik berupa acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal kegagalannya untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu:
1. Kewajiban untuk menghormati (respect)
Kewajiban ini menuntut negara, dan semua aparaturnya untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada kebebasan mereka.
2. Kewajiban untuk melindungi (protect)
Kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparaturnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka.
3. Kewajiban untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen hak asasi dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.

  1. Upaya Yang Dilakukan
Upaya yang harus dilakukan saat ini diantaranya ;
1. Saatnya segenap warga Negara mempromosikan dan mendesak hak perumahan sebagai hak yang justiciable. Justisiabilitas hak rakyat atas perumahan mempunyai makna peluang bagi rakyat untuk menggunakan mekanisme yudisial sebagai alat untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas perumahan, baik dengan melakukan gugatan atau megeksaminasi hak ini lewat pengadilan maupun mekanisme yudisial lainnya atau pun mediasi. Dalam klasifikasi meta-legal, klaim rakyat atas perumahan dapat berwujud pendudukan rumah-rumah pejabat yang didapat dari hasil korupsi.
2. Semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan monitoring terhadap realisasi progresif Negara, seperti memantau penyelenggaraan pembangunan rumah-rumah rakyat (public housing) yang ditujukan pada kelompok masyarakat yang sangat terbatas penghasilannya serta mereview kebijakan-kebijakan Negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti kebijakan kredit perumahan rakyat, terutama kaitannya dengan penyelenggaraan perumahan sosial (social housing). Monitoring sebaiknya dikaitakan dengan isu sumber dana dan
pengalokasian anggaran, baik nasional maupun lokal.
3. Saat ini diperlukan peran aktif dari Komnas HAM. Karena sesuai pasal 18 UU Pengadilan HAM, Komnas diberi otoritas untuk melakukan penyelidikkan kejahatan HAM berat. Komnas HAM dapat membentuk Tim untuk fungsi ini dengan melibatkan elemen masyarakat. Setidaknya, ada dua alasan pokok, mengapa Komnas HAM harus menyelidiki kasus-kasus penggusuran paksa. Pertama, peristiwa penggusuran paksa merupakan tragedi kemanusiaan. Fungsi dan peran Komnas HAM dalam konteks ini merupakan bagian dari promosi dan bentuk perlindungan HAM yang dilakukan lembaga ini. Kedua, mencegah peristiwa lainnya, dimana
orang-orang berduit dengan sewenang-wenang bisa menjadi tirani di seluruh wilayah
Republik Indonesia.

BAB III
Kesimpulan

Kewajiban Negara dalam hal pemenuhan hak asasi manusa meliputi: (1) menghormati; (2) melindungi; (3) memenuhi. Kewajiban Negara dalam pelaksanaan hak atas perumahan dalam konteks menghormati adalah Negara mempunyai obligasi untuk menetapkan kebijakan atau hukum yang berkesesuaian dengan prinsip-prinsip pembangunan yang tinggi. Kewajiban Negara dalam konteks melindungi maksudnya adalah Negara wajib melindungi segenap warga negaranya beserta individu yang tinggal di bawah yurisdiksinya. Obligasi Negara dalam konteks memenuhi adalah kegagalan Negara dalam melakukan langkah-langkah dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan .
Negara berkewajiban untuk menggunakan semua sumber daya yang tersedia (all available resources) untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi tiap individu untuk menikmati tempat tinggal yang layak. Artinya, tidak ada alasan bagi Negara untuk tidak menciptakan perumahan yang tak layak hunie dan layak bagi individu karena tidak tersedianya anggaran, terlebih lagi dalam hal ini kewajiban Negara adalah lebih proaktif dalam melakukan peninjauan terhadap rumah warga yang tak layak dihuni agar tetap layak huni dengan bentuk konstruksi lebih efesiaen, serta memulihkan kembali rumah-rumah warg udara yang terlanjur rusak agar pelanggaran terhadap hak kesehatan tersebut tidak menjadi delik berlanjut (voorgezette delicten). Kebijakan Negara yang untuk tidak mengalokasikan anggaran untuk program-program dalam rangka memastikan realisasi hak atas perumahan adalah cermin ketidakberpihakan pemerintah kepada pelaksanaan hak asasi manusia yang menjadi poin penting dalam legez fundamentalis. Dalam hal ini Negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam konteks Negara tidak menghormati hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
. Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991 dan UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.
Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif Hukum Internasional, Bahan Ajar Kuliah Hukum HAM Internasional Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2007.
Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991.

Lihat UN doc. Covention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), art. 5(e) (iii).
UN doc. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)., art.
14(2) (h). Lihat juga yang memuat pengakuan persamaan perempuan dalam UN doc. Commission on Human
Rights Res. 2000/13kepemilikan, akses dan kontrol hak atas tanah, properti dan perumahan.
UN doc. Convention on the Rights of the Child (CRC)., art. 27 (3).
ILO Convention No. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples dan No. 161 concerning Occupational
Health Services (1985).

1 . Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991 dan UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia.

2 Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran HAM dalam Perspektif Hukum Internasional, Bahan Ajar Kuliah Hukum HAM Internasional Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2007.

3 Lihat komentar umum No. 4 mengenai hak atas perumahan yang layak, yang diadopsi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 1991.


4 Lihat UN doc. Covention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), art. 5(e) (iii).
UN doc. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)., art.
14(2) (h). Lihat juga yang memuat pengakuan persamaan perempuan dalam UN doc. Commission on Human
Rights Res. 2000/13kepemilikan, akses dan kontrol hak atas tanah, properti dan perumahan.
UN doc. Convention on the Rights of the Child (CRC)., art. 27 (3).
ILO Convention No. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples dan No. 161 concerning Occupational
Health Services (1985).

Hukum Adat


Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Hukum adat di Indonesia

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
   1. Hukum Adat mengenai tata negara
   2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
   3. Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje,Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.



 Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:

   1. Aceh
   2. Gayo dan Batak
   3. Nias dan sekitarnya
   4. Minangkabau
   5. Mentawai
   6. Sumatra Selatan
   7. Enggano
   8. Melayu
   9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
   2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
   3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.



Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
   1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
   2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat                     hukum adat (Pasal 2 dan 5).
   3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.




Daftar Pustaka

    * Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
    * Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
    * Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
    * Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
    * Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
    * Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
    * Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
    * Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
    * Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
    * Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia