Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Selasa, 03 Januari 2012

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Propinsi Jawa Timur


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pelayanan publik yang ideal adalah serangkaian dari cita suatu tata pemerintahan yang baik (Good Govermance), jika didefinisikan Good Govermance itu sendiri adalah cita-cita yang menjadi visi penyelenggara negara  diberbagi belahan bumi, termasuk indonesia. Secara sederhana Good Govermance dapat diartikan sebagai sebuah prinsip dalam mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya yang efesien, sistem pengendaliannya bisa diandalkan, dan administrasinya dapat bertanggung jawab pada publik.[1]
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan dari pelayanan publik ini pada umumnya adalah pegawai negeri sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan serta diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya.[2] Melihat dari pemaparan ini sungguh penting adanya pelayanan publik yang baik, dengan tujuan agar masyarakat dapat mempermudah dalam setiap urusan di dalam birokrasi pemerintahan. Tetapi dalam menciptakan suatu pelayanan publik yang ideal khususnya di Negara Indonesia sanagatlah sulit. Beberapa realitas yang terjadi dalam pelayanan publik di indonesai yang sering menimbulkan dari sisi pro dan kontra, dapat dilihat pada berita yang dikeluarkan oleh Surabaya Kompas. Tercatat diantara seluruh instansi pelayanan publik di Jawa Timur, Badan Pertanahan Nasional salah satu instansi yang dinilai sebagai instansi pelayanan publik terburuk. Di sana masyarakat yang mengurus administrasi pertanahan harus melalui birokrasi yang panjang (berbelit-belit). Hal itu dikemukakan Gubernur Jatim Soekarwo, Kamis (15/10) di Surabaya. Anggota Komisi Pelayanan Publik Jatim, Wahyu Kuncoro, juga mengatakan hal serupa. Ungkapan beliau bahwa "Saya geregetan, selama ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) paling banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat. BPN menduduki urutan pertama instansi pelayanan publik terburuk, disusul layanan pembuatan KTP dan layanan penyediaan air minum," ucapnya.[3]
Berdasarkan beberapa kasus di atas, pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan, masyarakat yang masih banyak dibingungkan dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit, pungli, dan ketidaktahuan masyarakat tentang layanan publik. Hal ini yang mengakibatkan salah satunya adalah tindak pidana korupsi yang sering dilakukan oleh aparatur pelaksana payanana publik di pemerintahan.[4] Dengan adanya catatan buruk yang diperoleh oleh Kantor Bandan Pertanahan Kota Surabaya mengenai palayanan publik hal ini wajib menjadi perkerjaan rumah (PR) bagi para pengambilan kebijakan khusunya di Provinsi Jawa Timur untuk merombak dalam rangka perbaikan jauh lebih baik kedepan.[5]
Dalam kasus yang terjadi di Kota Surabaya dalam rangka pelayanan publik yang tedapat beberapa catatan buruk yang diperoleh oleh lembaga-lembaga (isntansi-instansi) di Kota Surabaya perlu kita ketahui secara mendalam apa yang mengakibatkan hal ini dapat terjadi dalam rangka pelayanan publik. Apakah kesalahan terdapat pada sisi pelayanan yang dilakukan oleh para pegawai ataukah adanya kelemahan dalam Perturan Derah (Perda) Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur (Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik  Propinsi Jawa Timur). Dalam kesmpatan ini penulis mencoba untuk menganalisis dari sisi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur mengenai pelayanan publik yang sudah dijadikan dokumen hukum dalam menciptakan pelayanan publik yang ideal.

B.   Perumusan Masalah
Apakah sudah tepat isi (materi muatan) serta pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik  Propinsi Jawa Timur ?




C.   Hampiran Teoritik
1.    Teori Tentang Pelayanan Publik
a.    Pengertian Pelayanan Publik.
Pelayanan adalah  satu kegiatan atau urutan  kegiatan yang  terjadi  dalam interkasi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisid dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Sedangkan pelayanan publik itu  sendiri adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang -undangan. Pada hakekatnya pembangunan nasional suatu bangsa dilaksanakan oleh masyarakat bersama pemerintah, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membina serta menciptakan suasana kondusif yang menunjang kegiatan rakyatnya. Kegiatan masyarakat dan pemerintah tersebut harus saling mengisi, saling menunjang, dan saling melengkapi dalam suatu kesatuan langkah menuju tercapainya suatu tujuan pembangunan nasional suatu bangsa. Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparat negara, agar terciptanya suatu keseragaman pola dan langkah pelayanan umum oleh aparatur pemerintah perlu adanya suatu landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum. Pedoman ini merupakan penjabaran dari hal - hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam prosedur operasionalisasi pelayanan umum yang diberikan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah secara terbuka dan transparan.[6]

b.    Hakekat pelayanan publik[7]:
1.    Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah di bidang pelayanan publik.
2.    Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan publik dapat diselenggarakan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3.    Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakasa, dan peran serta masyarakat dalam derap langkah pembangunan serta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

c.    Asas Pelayanan Publik[8]
Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut :
1.    Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2.    Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitas.
3.    Mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hokum yang dapat dipertanggung jawabkan.
4.    Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah terpaksa harus mahal, maka Instansi Pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.

2.    Dasar-dasar Dalam Proses Legislasi
Istilah Legislasi berasal dari bahasa inggris (legislation), dalam khasana ilmu hukum, ligislasi mengandung makna dikotomis yang memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum. Legislasi dapat juga dimknai dengan arti sebagai proses pembuatan Undang-undang.
Negara Perancis, Fungsi legislasi merupakan bidang kekuasaan legislatif  yang dibedakan secara tugas dengan kekuasaan eksekutif. Wewenang pembuatan Undang-undang dipegang oleh parlemen sebagai konsekwensi kekuasaan legislative. Apabila terjadi perbedaan antara statute dan regulasi maka Mahkama Konstitusi dan Dewan Pertimbangan Agung memiliki wewenang untuk menyelesaikan konflik norma tersebut.
Legislasi juga sebagai dasar dalam melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berintraksi dalam proses legislasi tersebut, secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu Negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter. Jika konfigurasi politik yang dianut oleh Negara demokrasi, maka dalam proses legislasinya  akan demokratis karena konfigurasinya tersebut akan memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan konfigurasi yang dianut oleh Negara otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat maka dalam proses legislasi relatif kecil karena proses legislasi identik dengan intervensi politik.
Secara esensial legislasi terdiri dari atas dua golongan besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk mematahkan suatu gagasan, isu dan/atau masalah yang selanjutnya akan dibawah kedalam agenda yuridis. Apabila gagasan tersebut berhasil dilajutkan, maka bentuk isinya mengalami perubahan yakni makin dipertajam dibandingkan pada saat muncul. Pada titik ini, proses legislasi akan dilanjutkan kedalam tahap yuridis yang merupakan pekerjaan yang benar-benar menyangkut suatu peraturan hukum yang sesungguhnya.  

3.    Teori Transparansi Pelayanan Publik
Transparansi dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti[9]. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima kebutuhan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan[10]  Jadi secara konseptual, transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.[11]
Di lapangan Indonesia, penyelenggaraan pelayanan publik secara umum didasarkan pada filosofi dari UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004. Khusus untuk kebijakan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dijabarkan dalam Kep. Menpan RI No. KEP/26/ M.PAN/2/2004. Maksud ditetapkan Keputusan tersebut adalah sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas transparansi pelayanan yang meliputi pelaksanaan prosedur, persyaratan teknis dan administratif, biaya, waktu, akta/janji, motto pelayanan, lokasi, standar pelayan an, informasi, serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyeleng gara pelayanan publik dalam melaksanakan pelayanan publik agar berkualitas dan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik adalah pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuh kan informasi. Transparansi dibangun dalam suasana adanya aliran informasi yang bebas. Dalam suasana ini, proses, institusi, dan informasi dapat secara langsung di akses oleh mereka yang berkepentingan. Di samping itu, juga tersedia cukup informasi untuk memahami dan memonitor ketiga hal itu[12]. Menurut Riswandha transparansi adalah rakyat paham akan keseluruhan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi, transparansi itu berarti bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Transparansi mensyaratkan bahwa pelaksana pelayanan publik memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan dengan yang kegiatan pelayanan. Dalam konteks transparansi pelaksana pelayanan publik, pelaksana harus terbuka pada setiap tindakannya dan siap menerima kritikan maupun masukan, terutama yang dapat dari masyarakat adalah merupakan kebutuhan utama adar agar aparatur memahami aspirasi riil masyarakat.[13]
4.    Teknik dan Asas Pembuatan Perda yang baik
Pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk perda pada dasaranya bukanlah  suatu pekerjaan yang mudah, sehinggga diperlukan suatu orang yang memeiliki kapasistas tertentu (kapasitas dibidang ilmu dan ahli dibidang teknis perancangan) dalam suatu studi ilmu dan teori perundangn-undangan, paling tidak ada 4 syarat bagi peraturan perundang-uandangan termasuk perda yang baik yaitu: yuridis, sosiologis, filosofis, dan tekni perancangan peraturan perundang-undangan yang baik:[14]
a.    Landasan fundamental
Uraian yang memuat tentang pemikiran terdalam yang harus terkandangn dalam peraturan perundang-undangan dan pandangan hidup yang mengarahkan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pemikiran terdalam dan padnangan hidup yang harus tercermin dalam peraturan  perundang-undangan adalah nilai-nilai proklasmasi pancasila.
b.    Landasan Yuridis
Uraian tentang ketentuan hukum yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis meliputi:
1.    Yuridis formal yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang merujuk atau memberi kewenangan kepada lembagai/organ atau lingkungan jabatan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan.
2.    Yuridis materiil yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan isi dari peraturan  perundang-undangan yang dibentuk.
c.    Landasan Sosiologis
Bahwa perda harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perda yang dibentuk dapat diterima masyarakat, memeiliki daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegakan hokum  dalam pelaksanaannya.
Adapun teknik pembuatan perancangan peraturan perundang-undangan itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan dalam gramatikal, ketapatan dalam menggunakan huruf dan tanda baca. Selain keempat syarat tersebut pembutan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas-asas formal dan material sebagai ketentuan oleh Van Der Vlies yang dikutip A. Hamid Attamimi dan Bagirmanan:[15]
1.    Asas-asas formal mengikuti asas tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas consensus;
2.     Asas-asas material meliputi asas tentang terminology dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali, yang perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum dan asas pelaksanaan hukum sesuai individu.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.   Tanggapan Umum Terhadap Perda Pelayan Publik Propinsi Jawa Timur
Tujuan dibentuknya perda tetang Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur ini ada beberapa point (i) Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik di Propinsi Jawa Timur (ii) Mewujudkan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Provinsi Jawa Timur,(iii)  Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara maksimal, (iv) Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai mekanisme yang berlaku. Hal ini  sesuai dengan pasal 3 Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur[16]. Keberadaan Perda ini sangat penting sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan publik yang ideal di Daerah Provinsi Jawa Timur, khususnya terkait dengan soal perijinan dan non perijinan yang berlaku diruanglingkup birokrasi Provinsi Jawa Timur.

1.    Ruang Lingkup Perda
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah propinsi sudah tertuang dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1), huruf c, k, l, m, n Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada huruf c penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat huruf k memberikan pelayanan termasuk lintas kabupaten/kota, huruf l memberikan pelayana kependudukan, dan catatan sipil, huruf m memberikan pelayanan adminstrasi umum pemerintahan, huruf n memberikan pelayanan administrasi  penanaman modal termasuk lintas  kabupaten/kota.[17] Selain hal ini juga dalam ranah pelayanan yang  daerah provinsi juga dapat dilihat dalam ketetuan pasal 16 ayat (1), dan (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
“Ayat (1)  Hubungan dalam pelayanan umum antara pemeritah dan pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat (4) dan ayat (5)  meliputi: (a) kewenangan tanggung jawab, dan penentuan  standar pelayanan minimal. (b) mengalokasikan pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewejangan daerah dan (c) fasilitas pelaksanaan kerja sama antara pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum”.

Ayat (2) hubungan dalam bidang pelayanan umum atara pemerintahan daerah seabagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan (5). (a) pelayanan umum yang manjadi kewenagan daerah. (b) kerajasama antara pemerintah  daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum dan (c) pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

Mengenai pasal di atas mengingat begitu banyaknya tugas daerah mengenai pelayan umum sangatlah perlu dibentuknya Perda Tentang Pelayan Publik Propinsi Jawa Timur, agar dapat terlaksananya pelayanan publik yang efektif dalam penylenggaraan suatu pemerintahan.


B.     Analisis tentang isi (materi muatan) serta pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik  Propinsi Jawa Timur.
Untuk menganalisis suatu peraturan daerah perlu dicermati terlebih dahulu  hal-hal yang penting dan hal-hal yang menjadi suatu ketentuan (prosedural) di dalam pembuatu suatu perda. Salah satu contoh mengenai dasar-dasar untuk menciptakan suatu peraturan daerah yang baik, dalam artian dimana perda yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, apakah perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, serta perda yang dibuat apakah sudah sesui dengan keadaan masyarakat yang akan melaksanakannya.
Dalam pembuatan perda jika kita tinjau dari hierarki perundang-undangan yang teori ini dikumukkan oleh Hans Kelsen yaitu stufentheorie. Yang mangatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang libih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm). Seiring berkembangnya ilmu dalam dunia hukum teori ini berkembang dan dikembangkan oleh Nawiasky yang menegaskan bahwa terdapat empat kelompok besar norma yang secara berurutan dari atas ke bawah yaitu norma fundamental (staatsfundamentalnorm) atau dasar (staatsgrundgesetz), undang-undang formal (formell gesetz), dan aturan pelaksana yang sejajar dengan aturan otonomi (verordnung and autonome satzung).[18] Norma fundamental ditetapkan terlebih dahulu (presupposed) oleh masyarakat. Aturan dasar merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok, masih umum, masih dalam garis besar, dan masih merupakan norma tunggal yang belum disertai dengan norma sekunder. Aturan pelaksana yang sejajar dengan aturan otonomi berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang.[19] Dalam hal ini juga dikemukakan mengenai perbedaan antara aturan pelaksana dan atruan  otonom adalah  aturan pelaksanaan berdasarkan delegasi, sedangkan aturan otonom berdasarkan atribusi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan. Atribusi dalam hal ini membentuk peraturan perundang-undangan (atributie van wetgevingsbevoegheid) adalah pemberian wewenang membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Wewenang itu melekat terus menerus sehingga dapat dilaksanakan setiap saat dengan tepat dengan memperhatikan batas-batas yang diberikan. Sedangkan delegasi membentuk peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Wewenang ini  diberikan hanya untuk sementara, sehingga wewenang tersebut hanya diwakilkan.[20]
Selain itu juga dalam membentuk suatu peraturan yang perlu diingat bahwa adanya suatu aturan yang tergolong harmonis, hal ini penting untuk menciptakan suatu aturan yang pada nantinya tergolong ideal. Pembentukan perturan perundang-undangan yang harmonis dan mudah diterapkan dimasyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara. Apabila kita membicarakan ilmu perundang-undangan, maka kita juga akan membicarakan mengenai proses pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut dalam suatu negara, dan sekaligus seluru peraturan-peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.[21]
Hal yang jarang diperhatikan mengenai  asas-asas dalam pembentukan hukum peraturan perundang-undangan, dikemukakan oleh Attamimi ada 3 (tiga) camam mengenai asas-asas pembentukan perudang-undangan, sebagai berikut:
1.    Asas cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila disamping sebagai rechtsidee yang juga merupakan norma fundamental negara.
2.    Asas bernegara berdasarkan atas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Berdsarakan prisip ini Undang-Undang sebagai alat peraturan yang khas ditempatkan dalam keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan batas penyelenggaraan pemerintahan.
3.    Asas lainnya, yang meliputi  asas formal dan asas materiil.[22]

Setiap warga Negara tidak akan pernah bisa menghindari dari hubungan dengan birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi  pemerintah  adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi  untuk melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan menyangkut masyarakat secara luas dan warga Negara. Itulah sebabnya  pelayanan pelayanan yang diberikan oleh  birokrasi pemerintah menuntut tanggung jawab secara moral yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang baik. Namum sayangnya tanggung jawab moral dan tanggung jawab professional ini menjadi salah  satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan publik di Negara Indonesia. Dalam artian  sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalama pelaksanaan pelayanan publik di lapangan. Padahal ketentuan-ketentuan secara legal formal sudah baik dan benar yang disusun dan  disahkan oleh  para pengambil  kebijakan dalam bentuk peraturan  perundang-undangan maupun dalam bentuk peraturan daerah.[23]
Memang sangat tragis jika kita melihat pelayan publik yang dilakukan di Negara Indonesia tercinta kita ini, sering terdengar dimana-mana baik dimedia massa sampai media elektronik. Terdengarnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang melakukan pelayanan publik. Mulai dari mempersulit masyarakat dengan alasan  prosedur  birokrasi dan praktik-praktik Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN).[24]
Keberadaan mengenai aturan dalam pelaksanaan pelayanan publik sekala propinsi seperti Propinsi Jawa Timur memang sudah  menjadi keharusan, mengingat banyaknya suatu tugas yang dibebekan kepada pihak pemerintah untuk memberikan pelayaan kepada masyarakat secara luas. Dapat dibayangkan apabila tidak adanya suatu aturan mengenai pelayanan publik disuatu daerah dapat dipastikan terdapat beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pelaksana birokrasi pada khususnya, selain itu juga dari sisi masyarakat itu sendiri. Yang kita ketahui bersama bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik disuatu daerah sering terjadi penyimpangan yang dikelukan kepada masyarakat, semisal dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit sehingga membuat masyarakat menjadi resah dan jenuh terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh  pihak borikrat itu sendiri.
Sedangkan dalam pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat dan kita bersama adanya suatu pelayanan publik yang mudah untuk dilaksanakan. Tetapi apa yang diharapkan  tidaklah selamanya  berjalan sesuai dengan rencana. Dalam hal ini menurut penulis tidak adanya harmonisasi baik pada sisi pelaksanaan maupun aturan yang dibuat oleh pihak pemerintah. Sebagai salah satu contoh yang dicetak oleh Kompas Surabaya terdapatnya laporan dari pihak masyarakat mengenai pelayanan publik yang terjadi di Kota Surabaya dimana masyarakat selalu dipersulit atas tindakan para birokrat yang selalu berbelit-belit untuk mempersulit masyarakat yang mempunyai keperluan mengenai pengurusan suatu identitas seperti Kartu Tandan Penduduk (KTP), perijinan tanah dan lain sebagainya.
Dengan adanya suatu pemberitaan yang  menyimpang terhadap pelayaan publik  di Propinsi Jawa Timur oleh  pihak masyarakat hal ini sudah  menyimpangi ketentuan  dalam proses pelayanan publik yang  sudah di jadikan aturan hukum melalui Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur khususnya pada BAB II Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup pada ketentuan pasal 2 (dua) Asas Penyelenggara pelayanan publik angka 6 asas profesionalisme jika dikorelasikan dengan apa yang terjadi dalam pelayanan publik di Propisi Jawa Timur yang sempat diberitakan oleh pihak media Kompas Surabaya adanya tindakan berbelit-belit yang dilakukan oleh para pelaksana birokrat tidaklah  sesuai dengan asas yang termaktup dalam perda Propinsi Jawa Timur ini. Yang menurut penulis dengan adanya tindakan yang mempersulit masyarakat dalam proses pelayanan publik adalah suatu tindakan yang tidak profesional yang dilakukan oleh para birokrat.  
Selain itu dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, berdasarkan analisa yang dilakukan oleh penulis terhadap Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur diperoleh data bahwa dalam penyususnan perda juga belum mengikuti teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.




a.   Pembukaan
1.    Konsideran
a.      Dalam pokok-pokok suatu pemikiran yang terkandung dalam konsideran Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur belum memuat aspek-aspek yang wajib dimasukkan dalam suatu peraturan yang dibuat yakni aspek filosofis, dan sosiologis yang menjadi hal yang fundamental dalam pembuatun perda.
b.      Aspek filosofis dalam Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur hanya memasukkan bahwa dibentuknya perda ini hanya merupakan suatu kewajiban pemerintah semata, menurut penulis seharusnya memuat mengenai diperlukan pembentukan perda ini dikarenakan atas adanya suatu kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat dengan suatu birokrasi pemerintahan.
c.      Sedangkan pada aspek sosiologis pada Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur hanya menitik beratkan pada suatu peningkatan kualitas pelayanan publik seharusnya peraturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat Jawa Timur. Tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan kualitas suatu pelayanan publik, seharusnya memasukkan mengenai semakin banyaknya suatu keperluan dalam kehidupan masyarakat dengan suatu pemerintahan khususnya mengenai perijinan.

2.    Dasar Hukum
Dasar hukum yang tercantum dalam perda seharusnya suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai  relevansi yang sangat urgen dengan perda yang akan dibentuk, tetapi kenyataan yang terjadi sering kali terdapat dalam pembuatan suatu perda perancang perda sering memasukkan peraturan perundang-undangan atau dasar hukum yang tidak mempunyai  relevansi secara signifikan dan juga sering dimasukkan dalam perda. Seperti pada Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur  yang memasukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4125). Menurut penulis hal ini tidak perlu untuk  dimasukan kerena pelayanan publik tidak mempunyai relevansi yang cukup signifikan dengan perda yang dibuat. Sehingga dalam perda pelayanan publik Propinsi Jawa Timur ini dapat dikatakan pemborosan dasar hukum yang dimasukkan dalam konsideran.

3.    Diktum
Kata “MEMUTUSKAN” dalam suatu peraturan  khususnya Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur yang ditulis dengan tulisan bersambung adalah suatu teknik penulisan yang salah. Seharusnya kata “MEMUTUSKAN” harus ditulis  dengan menggunakan spasi seperti “M E M U T U S K A N”.

b.    Batang Tubuh

  
Melihat hal ini dari catatan buruk yang dimiliki oleh bebera instansi yang berda di Jawa Timur, sehingga harus kita analisa secara mendalam terletak dimana kesalahan dalam birokrasi yang terjadi di Provinsi Jawa Timur ini.  Jika ditinjau dari sisi yuridis Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah membuat sautu naskah hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yakni Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur. Yang menjadi pertanyaan sekarang dari sisimanakah yang salah sehingga terjadinya catatan buruk terhadap pelayanan publik yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Melihat pemberitaan  yang dikeluarkan oleh Kompas Surabaya yang dalam hal ini terkait instansi-instansi yang mempunyai catatan buruk serta dengan adanya laporan-laporan pihak masyarakat dengan adanya proses birokrasi yang berbelit-belit  tidaklah menunjukkan pemenuan hak para penerima layanan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 Perda Provinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik yang berbunyi “Penerima layanan publik mempunyai hak: (a) Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas dan tujuan pelayanan publik serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan. (b) Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik. (c) Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik. (d) Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah. (e) Memperoleh kompensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. (f) Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau Komisi Pelayanan Publik untuk mendapatkan penyelesaian. (g) Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku. (h) Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.[25]
Jika ditinjau dari pasal 7 Perda Provinsi Jawa Timur tentang pelayanan publik yang mengatur mengenai peran serta masyarakat yang berbunyi:

1.   Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2.   Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
“Berperanserta dalam merumuskan standar pelayanan publik;
Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawsan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Memberikan saran dan atau pendapat dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Menyampaikan informasi dan atau memperoleh informasi di bidang penyelenggaraan pelayanan publik”.[26]


 Melihat permasalahan yang terjadi mengenai pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur yang tercatat sempat mendapatkan teguran langsung dari gubernur Provinsi Jawa Timur, akibat adanya tidak profesional para pelaksana pelayanan publik sehingga terjadi pro dan kontra antara pihak masyarakat dan pihak pemerintah daerah  baik daerah Kabupaten maupun Kota. Merujuk pada pasal 7 ayat (1) dan (2) yang terterah di atas menurut penulis kurangnya pihak pelaksanan pelayanan publik kurang mengikutsertakan pihak masyarakat dalam rangka pelayanan publik menjadi mitra untuk dapat bekerjasama secara baik. Sehingga terjadinya suatu pro dan kontra mengenai pelayanan publik di instansi-instansi terkait.  Meskinya Perda Provinsi Jawa Timur mengenai Pelayanan Publik setidaknya dapat memperhatikan kultur dalam kehidupan dalam masyarakat itu  sendri agar kebutuhan dari peraturan tersebut dapat berjalan secara efektif. Jika kita merujuk pada asas pembuatan perda khusunya asas sosiologis bahwa perda harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perda yang dibentuk dapat diterima masyarakat, memeiliki daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegakan hukum  dalam pelaksanaannya.
Selain itu juga dalam melaksanakan pelayanan publik transparansi sanagatlah diperlukan dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti[27]. Jadi secara konseptual, transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan. Sangat disayangkan konsep transparansi dalam dalam dunia pelayanan publik secara realitas belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, seharusnya para pelaku (penyelenggara) pelayanan publik harus mengerti secara detail mengenai pentingnya transparansi dalam menjalankan birokrasi di suatu pemerintahan. 
Penting juga untuk diingat dalam melaksanakan pelayanan publik bahwa Asas Pelayanan Publik tidak boleh dilupakan para pelaksana pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar[28] sebagai berikut :
1.           Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2.           Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitas.
3.           Mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hokum yang dapat dipertanggung jawabkan.
4.           Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah terpaksa harus mahal, maka Instansi Pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Pentingnya  mengingat hal di atas agar dapat terciptanya suatu aturan suatu keserasian dalam berjalannya suatu aturan di dalam kehidupan masyarakat, sehingga pada nantinya dapat terwujudnya suatu keseimbangan antara aturan hukum dan pelaksanaannya di dunia masyarakat, dan juga tidak terjadinya lagi suatu penyimpangan-penyimpangan yang dilakuakan oleh  para birokrat. Dengan adanya dasar-dasar asas pelayanan publik yang terpaparkan di atas diharapkan para birokrat juga dat mengetahui porsi-porsi dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan masyarakat. 


















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dalam hal Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran para birokrat dalam menjalankan tugas secara profesional, selain itu juga kurangnya pengawas dari pihak pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik yang terjadi di Jawa Timur, serta tidak adanya tindakan tegas dari pihak pemerintah dalam meberikan peringatan kepada instansi-isntansi yang melakukan kesalahan  mengenai pelayanan publik, sehingga perlu adanya suatu ketegasan dalam mengimplementasikan perda tentang pelayanan publik provinsi Jawa-Timur sehingga terjadinya kerisis dalam pelaksanaan pelayanan publik yang ideal dilakukan oleh para pelaksana birokrasi.

B.   Saran
Saran dalam tulisan ini, perlu adanya suatu peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur khusunya dengan instansi-instansi di Provinsi Jawa Timur, serta perlunya  tindakan tegas diberikan bagi isntansi-instansi yang diaggap telah melakukan kelalainan dan kesalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik.



[1] Pandji, “Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance”, Cetakan  ke dua, Bandung PT. Refika Adimata,2009, hal.55.
[3] Media Kompas Surabaya Dapat Diakses Melalui www.Kompas .com.
[4] Ibid.
[5] ibid
[6] Redaksi Explore Indonesia, “Menyonsong Pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”, http://www.explore-indo.com/layanan-publik/48-layanan-publik/174-pelayanan-publik-bagian-1.html, 2008,(16 Maret 2011).
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ratminto dan Winarsih,. “Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual”, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2005, hal 19.
[10] ibid
[11] ibid
[12] Hamdi dan Muchlis. “Good Governance dan Kebijakan Otonomi Daerah”, dalam Jurnal Otonomi Daerah, 2001. Oktober 2001.

[13] Ahmad Hidayat, dalam artikel, Transparansi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik”, Jakarta,2010.

[14] Maria Farida Indrati “Ilmu  Perundang-Undangan”, Kanisius,Jogyakarta,2007.
[15] Bagirmanan, “Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia” Ind-Hill-Co, Jakarta, 1992.
[16] Baca Pasal 3 Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik.
[17] Baca Pasal 13 ayat (1) huruf c, l, k, m, n Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[18] Maria Farida Indrati Soeprapto, “Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya”, Kanisius,Yogyakarta,1998, hal 27.
[19] Jazim Hamidi dan Budiman NPD Sinaga, “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sorotan”, PT.Tata Nusa, Jakarta,2005, hal 4-5.
[20] Ibid, hal 5-6.

[21] Maria Farida Indrati Soeprapto, “Ilmu Perundang-Undangan”......,loc cit, hal 1.
[22] Ibid, hal. 150.
[23] Agus Dwiyanto, “Mewujudkan Good Gorvernance Melalui Pelayanan Publik”, Cetakan Ke Tiga, Gajah Mada University Press,Yogyakarta 2008, Hal. 95.
[24] Ibid.
[25] Baca Pasal 5 Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.

[26] Baca Pasal 7 ayat (1) dan (2)  Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur.
[27] Ratminto dan Winarsih, Op Cit….
[28] Redaksi Explore Indonesia, Op Cit…