Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Sabtu, 19 November 2011

ANALISIS YURIDIS TENTANG KEABSAHAN PROSES PEMANGGILAN SUSNO SERTA DIKELUARKANYA SKPP YANG DIANGGAP MELAWAN HUKUM DALAM SIDANG PRAPERADILAN KASUS BIBIT-CHANDRA



Beberapa saat lalu memang kita telah melihat dengan jelas dan bisa membaca arah kemana kasus ini akan dibawa dan siapa-siapa yang terlibat didalamnya tapi berbeda halnyya dengan sekarang bahwa banyak yaang berubah, setiap upaya hukum yang dilakukan adalah merupakan startegi bagaimana untuk mencari serta menjatuhkan lawan ataupun yang dianggap kawan. Telah banyak yang terjerat dalam konflik horizontal yang di mulai oleh seorang yang benar-benar dipandang sebagai orang besar dan pejabat struktur di MABES POLRI.

Masalah ini benar-benar diawali oleh seorang SUSNO DUADJI yang mencooba mencari setitik kebersihan dibalik kebobrokan, dalam testimononyayang dipublikasikan bahwa SUSNU DUADJI mengungkapkan bahwa banyak terdapat makelar kasus yang berada didalam tubuh MABES POLRI maupun di luar MABES POLRI, sehingga dalam sekejap SUSNU DUADJi dapat merubah suasana internal MABAS POLRI yang kondisif berubah total seakan-akan menjadi suatu penjara yang tak terhenti bagi setiap anggota POLRI, dan akhirnya juga testimony yang di “ NYANYIKAN “ oleh SUSNO pun dapat menjerat dan membuat banyak pihak bergemetaran, dan salah satu yang menjadi korbanya adalah KOMPOL. ARAFAT.
Sehingga dengan banyaknya kasus-kasus yang menimpa anggota MABES POLRI banyak pihak yang mengatakan bahwa SUSNO DUADJI adalah sebagai penghianat kepolisian yang mempermalukan institusinya sendiiri tapi dibalik hal itu semua bahwa banyak juga yang menganggap bahwa SUSNO DUADJI adalah pahlawan yang memang harus diikuti dan didukung semua “ NANIANYA”. Sehingga dalam kesempata beberapa yang lalu SUSNo mendapatkan penghargaan dari asosiasi pengusaha muda Indonesia.

Dapat dipastikan bahwa “ NYANYIAN” yang dilakukan oleh SUSNO adalah merupakan bencana bagi para pihak terutama yang merasa diri pernah berkuasa dan menjalankan tugasnya dengan tidak seperti yang dianjurkan oleh undang-Undang, maka ekses dari hal itu semua orang-orang mencoba untuk mematikan langkah SUSNO DUADJI, dan untuk menjerat SUSNO maka mereka mencoba-coba mnecari apa yang menjadi kesalahan SUSNO, denagn pemangkiran tugas atau tidak bertugasnya yang ddilakukan SUSNO itulah yang menjadi awal bahwa SUSNO dianggap melanggar Undang-Undang no. 22 tahun 2002 tentang kepolisian Negara republic Indonesia serta dianggap melanggar PP no. 2 tahun 2003 gtentang disiplin anggoota kepolisian.
Dengan mengedepankan alas an tersebut maka secara yuridis dapat memperbolehkan pejabat yang berwebag untuk melakukan pemanggilan terhadap SUSNO DUADJI, sehingga munculah masalah yang lebih kompleks lagi yaitu pemangkiran SUSNU DUADJI dalam menghadiri pemanggilan yang dilakukan oleh para penyidik MABES POLRI, denagan demikian munculah masalah-masalah baru lagi yaitu banyak piihak yang menggangap bahwa SUSNO adalah Jendral yang tidak bermoral tapi dilain pihak SUSNO memberikan steatmen yang membenarkan tindakanya tersrbut yaitu bahwa pemanggilan yang dilakukan oleh para penyidik MABES POLRI tidak memenuhi syarat formal dan syarat materil.

Dalam beberapa kali pemanggilan yang dilakukan oleh penyidik terhadap SUSNO tetap saja SUSNO tidak mau menghadiri pemanggilan tersebut dengan alasan bahwa pemanggilan yang dilakukan oleh para penyidik tidak patut dan sah menurut hokum. Dengan alasan tersebutlah bahwa SUSNO membenarkan dirinya sendiri atas tindakan pemangkiran terhadap pemanggilan tersebut. Memang dengan jelas bahwa dalam telah diatur dalam PP no. 2 tahun 2003 tentang disiplin anggota kepolisian pasal 6 ayat 2 bahwa setiap anggota kepolisian tidak boleh meninggalkan tempat tugas tampa ada ijin dari KAPOLRI. Serta sesuai dengan Undang-Undang no.2 tahun 2002 tentang anggota kepolisian pasal 15 tentang :
1.      menerima laporan dan atau pengaduan.
2.      membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum.
3.      mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
4.      mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa..
Dan sesuai pula dengan bunyi pasal 35 yaitu :
  1. pelanggaran terhadap kode etik profesi kepolisian negara republik indonesia oleh penjabat kepolisian negara republik indonesia diselesaikan oleh komisi kode eti kepolisian negara republik indonesia.
Maka dari itu untuk mengadili SUSNO  yang telah banyak melakukan tindakan INDISPLINER maka  komisi kode etik profesi ata insrtuksi KAPOLRI melakukan pemanggilan yang terhadap SUSNO, tapi lagi-lagi penyidik maíz tetap dihadapkan terhadap ketidak pedulian SUSNO untuk menghadiri pemanggilan tersebut. Sebenarbnya apakah alasan yang menjadi landasan hukum SUSNO untuk tidak menghadiri pemanggilan yang dilakukan oleh para openyidik komisi kode etik tersebut.

Dalam pernyataan yang keluarkan oleh SUSNO bahwa pemanggilan yang dilakukan oleh komisi kode ettik melalui para penyidiknya adalah maíz Belem patut dan sah menurut hukum, dan oleh karena itu apa unsur yaang masih Belum terpenuhi dalam pemanggilan tersebut, akan lebih jelas jika kita menidentifikasi unsur-unsuur yang terdapat didalamnya. Patut :
  • pemanggilan atas tujuan apa,
  • pemanggilan atas masalah apa,
  • pemanggilan berkaitan dengan apa,
  • proses pemanggilanya seperti apa.
  • Pemanggilan berkaitan dengan siapa.
  • Bahasa yang digunakan dapat dengan mudah bisa dipahami oleh terpanggil
Sedangkan sah menurut hukum adalah :
  • Pemanggilan tersebut atas instruksi siapa.
  • Penjabat yang memberi instruksi benar-benar berwenang atas hal itu.
  • Pemanggilan dasarnya atas peraturan apa.
  • Pemanggilan harus memberikan alasan yang jelas.

Kita tidak bisa menyatakan apa yang dilakukan oleh SUSO adalah sepenuhnya adalah salah kaarena tidak menghadiri pemanggilan tersebut sebab apabila syarat-syaratnya tidak dipenuhi maka dengan jelas bahwa pemanggilan tersebut dapat untuk tidak dihadiri tapi dilain pihak bahwa pemanggilan yang telah berulang kali yang dilakukan komisi kode etik profesi melalui penyidiknya tersebut juga tidak sadar bahwa mungkin terdapat beberapa hal yang masih belum terpenuhi oleh karena itu sebaiknya dalam pelaksanaan pemanggilan utuk  berikutnya haruslah memenuhi semua unsur yang telah diatur tersebut dan bukkan tidak mungkin bahwa SUSNO akan tidak menghadiri pemanggilan lagi apabila proses pemanggilan yang dilakukan oleh penyidik tidak seperti anjuran peraturan yang ada.
Sebenarnya bukan suatu solusi yang benar bila komisi kode etik menyatakan bahwa jika SUSNO tidak menghadiri menghadiri pemanggilan lagi akan duilakukan upaya paksa terhadap SUSNO akan menjadi suatu pertanyaan yang besar sekali bila upaya paksa dilakukan karena akan menimbulkan anggapan dari publik bahwa SUSNo sengaja untuk dipaksa menghadiri pemeriksaan agar NYANYIANYA terhenti sampai disitu saja dan tidak dapat mengancam keberadaan jendral-jendral lainya.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan HUMAS MABES POLRI pun apabila bahwa jika terbukti SUSNO melakukan pelanggaran terhadap kode eti profesi maka bukan tidak mungkin untuk dijatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan pemerintah no.22 tahun 2003yaitu pasal 9tentang hukuman disiplin berupa :
  • Teguran tertulis
  • Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 tahun.
  • Penundaan kenaikan ggaji berkala,
  • Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun,
  • Mutasi yang bersifat demosi,
  • Pembebasan dari jabatan,
  • Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 hari.
Secara hirarki seharusnya pemanggilan dan hukuman yang akan jatuhkan ke SUSNO nantinya yang dilakukan oleh komisi kode etik profesi itu harus terlebih dahulu dengan teguran, penundaan mengikuti pendidikan atau hukuman-hukuman lainya karena peraturan menganjurkan prosesnya demikian, tidak seharusnya pabila hukuman yang akan dijatuhi nantiya melanggar hirarki urutan penjatuhan hukuman yang telah diatur PP no. 22 tahun 2003 ini.
Jika terdapat suatu tindakan yang memberatkan maka sesuai dengan pasal 10 peraturan pemerintah no.22 tahun 2003, ayat 1 :
  • Bila mana ada hal-hal yang memberatkan pelanggaran disiplin, penempatan dalam tempat khusus sebagai mana dimaksud dalam pasal 9 huruf g, dapat diperberat dengan tambahan maksimal 7 hari.
Dan pasal 10 ayat 2 juga mengingatkan bahwa :
  • Hal-hal yang memberatkan sebagai mana dalam ayat 1 apabila pelanggaran dilakukan pada saat :
  • Negara atau wilayah tempat berttugas dalam keadaan darurat,
  • Dalam operasi khusus kepolisian, atau
  • Dalam kondisi siaga.
Selain itu ada hal yang lebih urgensi lagi sifatnya bagiaman arogansi kepolisian dalam menghentikan NYANYIAN SUSNO terlihat dalam proses penangkapan pada saat SUSNO merencanakan kepergianya untuk pergi berobat ke singapura, petugas PROPAM yang telah ditugaskan oleh kepolisian menghentikan langkah SUSNO dibandara dan mencoba serta menangkap SUSNO dan dibawa ke MABES POLRI tindakan ini sebenarnya telah menyalahi aturan perundang-undangar yaitu KUHAP tantnag penangkapan. Pasal 17 KUHAP mangisyarkatkan bahwa :
  1. perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Padahal sebenarnya kalau dilihat dengan jelas bahwa dan cermat tindakan yang dilakukan oleh SUSNO bukanlah tindakan pidana ( DELIC ) hanya statu tindakan oelanggaran kode etik saja dan secara yuridis tidak perlu di lakukan upaya penangkapan terhadap SUSNO, penangkapan susno ini jelas-jelas telah memperlihatkan bahwa kepolisian ingin memberikan pelajaran terhadap SUSNO yang telah mempermalukan instituís kepolisian serta mengagalkan misi dari SUSNo yang mencoba membongkar sindikat makelar kasus yang ada dalam sistim hukum kita yang semakin memburuk ini.
Penyalah gunaan wwenangpun Sangay terlihat ketika SUSNO meminta kepada PROPAM menunjukan kepadanya surat penangkapan, karena telah Sangay jelas diatur didalam KUHAP pasal 18 bahwa;
  1. pelaksaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara republik indonesia dengan memprlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
  2. dalam hal tertangkap tangan dilakukan tampa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
  3. tembusan surat perintah penangkapan sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 harus di berikan kepada keluarganya estela penangkapan dilakukan.
Terdapat banyak kejanganggalan yang terjadi dalam prosas penanganan kasus SUSNO ini, dalam pasal 19 KUHAP pun tidak membenarkan apa yang telah dilakukan oleh PROPAM yaitu :
  1. penangkapan senbaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama 1 hari.
  2. terhadap tetsangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tampa alasan yang sah.
Berkali-kali kita lihat bahwa upya hukum yang dilakukan oleh para penyidik komisi kode etik profesi MABES POLRI telah banyak menyalahi aturan tertuus yang tertuang dalam KUHAP, salah satunya adalah bahwa penangkapan yang dilakukan oleh PROPAM terhada SUSNO adalah merupakan statu tindakan yang tidak sah menurut hukum karena memang penangkapan yang dianjurkan oleh KUHAP adalah hanya bisa dilakukan terhadap mereka yanag  diduga dengan keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup telah melakukan tindak pidana bukan terhadap merekaa yang melakukan pelanggaran.
Bagaimanapun alasan yang dikemukakan oleh para penyidik penangkapan yang dilakukan tidak dapat dibenarka karena kewenagan yang mereka miliki adalah hanya terdapat pada tindak pidana saja sebagai mana ketentuan pasal 7 KUHAP ayat 1 yaitu :
1.      menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana,
2.      melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian,
3.      menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,
4.      melakukan penangkapan , penahanan, pengeledahan dan penyitaan,
5.      melakukan dan pemeriksaan surat,
6.      mengambil sidik jari dan memotret seorang,
7.      memanggil orang untuk didengar dan ddiperiksa sebagai tersangka atau saksi,
8.      mendatangkan seorang ahli yang di perlukan dal hubungannya dengan pemeriksaan perkara,
9.      mengadakan penghentian penyidikan,
10.  menagsdakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dan dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 pun tidak membenarkan tindakan penyidik terhadap SUSNO yaitu :
  1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasanya berada dibawah koordinaasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a.
  2. dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimakssud dalam ayat 1 dan ayat 2 penyidik wajib menjujung tinggi hukum yang berlaku.

B. SKPP BIBIT-CHANDRA
Putusan praperadilan yang membatalkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat.Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tersebut hanya dapat ditanggapi Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan perlawanan (verzet), bukan banding ke pengadilan tinggi untuk meminta putusan terakhir (final and binding). Putusan praperadilan ini menimbulkan geger karena Jampidsus Kejagung telah menemukan bukti kuat perkara Bibit-Chandra untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21) dan hal itu di ucapkan di hadapan Komisi III DPR RI serta kepada publik. SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak diperlukan melanjutkan perkara Bibit Chandra kepengadilan.Memang. Jampdisus menanggapi bahwa hakim tidak memahami situasi dan kondisi saat diputuskan untuk tidak melimpahkan perkara Bibit Chandra kepengadilan dan mempersoalkan apakah pemohon (Anggodo) dapat dimasukkan sebagai pihak ketiga yangberkepentingan?(Pasal80KUHAP). Namun, lazimnya hakim memiliki kebebasan kekuasaan kehakiman untuk memberikan penilaian mengenai “pihak ketiga yang berkepentingan”, apalagi KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai kalimat tersebut sehingga diskresi berada sepenuhnya di tangan seorang hakim. Sama halnya dengan kasus penahanan terhadap seseorang, diskresi sepenuhnya berada di tangan penyidik. Pada umumnya hakim dalam praktik membenarkannya dan tidak mempersoalkan lagi kebenaran materiil dari penahanan tersebut, kecuali kebenaran prosedural.
“Pertimbangan sosiologis” oleh jaksa penuntut umum di dalam SKPP Bibit-Chandra memang tidak jelas. Namun penulis mengonstatasi bahwa pertimbangan tersebut antara lain memperhatikan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden agar perkara Bibit-Chandra dihentikan dan atas dasar rekaman yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi RI dan hasil pemeriksaan Tim Delapan serta tuntutan masyarakat sipil yang sangat luas terhadap penahanan Bibit-Chandra oleh penyidik.
Jika digunakan pendekatan positivisme hukum, secara normatif pengaruh rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden dan tuntutan masyarakat luas serta beberapa anggota lembaga legislatif dalam perkara Bibit-Chandra merupakan bentuk “intervensi” terhadap proses penyidikan dan penuntutan. Namun, jika digunakan pendekatan sociological jurisprudence dalam proses peradilan, pertimbangan sosiologis SKPP Bibit-Chandra oleh Kejagung dapat dibenarkan karena SKPP menampung aspirasi yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya “mendekatkan” fakta hukum yang terkandung dalam perkara Bibit- Chandra dan “fakta sosial” yang berada di balik perkara tersebut. SKPP Bibit-Chandra ini merupakan perkembangan baru dalam proses peradilan pidana Indonesia, baik saat ini maupun dimasa yang akan datang. Namun, SKPP Bibit- Chandra tersebut mengandung contradictio in ratio decidendi sehingga mencerminkan suatu SKPP cacat hukum. Pertimbangan hukum dalam SKPP ini pun perlu diuji validitasnya karena jika dibandingkan dengan ketentuan KUHAP (Pasal 140 ayat (2) a) hanya ada tiga alasan untuk mengeluarkan SKPP, yaitu perkara tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.
             SKPP Bibit-Chandra justru memuat penegasan bahwa perkara Bibit-Chandra terdapat cukup bukti dan tidak ada alasan normatif lain dengan ketentuan sesuai dengan Pasal 140 ayat 2 huruf d. Apabila kemudian ternyata ada alasan-alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Hasil pertimbangan normatif dan syarat sosiologis yang patut diterima dalam perkara Bibit-Chandra adalah dengan mengeluarkan deponeering. Sekalipun pertimbangan hukum telah cukup bukti, tetapi kepentingan umum yang lebih luas, yaitu kelanjutan kinerja KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi yang telah menjadi kebijakan politik pemerintah akan terganggu dengan penetapannya sebagai terdakwa. Dari sisi penafsiran hukum yang menggunakan pendekatan analitis positivisme hukum atau analytical jurisprudence, penafsiran hukum yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya SKPP Bibit-Chandra tidak memenuhi syarat rules and logic karena cacat hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Bagi hakim praperadilan, sudah tentu SKPP Bibit-Chandra dihadapkan pada suatu dilema hukum antara mengedepankan pendekatan positivisme hukum atau analytical jurisprudence yang telah lazim berkembang dalam praktik peradilan, bahkan telah menjadi suatu yurisprudensi. Pertimbangan normatif (tidak sosiologis) selama ini masih dianut pihak Kejagung, termasuk diskresi yang telah diatur dalam penetapan SP3 dan SKPP.
            Dalam proses penetapan SKPP Bibit-Chandra ini jelas Kejagung dalam posisi terjepit oleh hasil rekomendasi Tim Delapan yang disampaikan kepada Presiden serta oleh tuntutan masyarakat sipil untuk melepaskan Bibit-Chandra dari tuntutan hukum. Adapun analisis normatif jaksa telah menetapkan bukti yang cukup untuk dilanjutkan ke pengadilan. Di sinilah letak pentingnya independensi bukan hanya pada kekuasaan kehakiman semata-mata, tetapi independensi pada Kejagung sebagai penuntut umum di dalam suatu negara hukum. Dalam posisi Jaksa Agung setingkat menteri dalam Kabinet RI sudah tentu sulit untuk mengatakan bahwa Kejagung tidak terbebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif atau pengaruh kekuasaan politik. Jika rekomendasi Tim Delapan tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam nota pembelaan penasihat hukum Bibit-Chandra di sidang pengadilan, sangatlah elegan proses peradilan pidana di negeri kita tercinta ini. Sebab, dengan demikian, kita semua termasuk pimpinan eksekutif dan legislatif tetap menghormati tegaknya hukum dan di sisi lain, sekalipun putusan pengadilan memenangkan salah satu pihak, kemenangan atau kekalahan itu merupakan kemenangan atau kekalahan yang diperoleh secara terhormat dan memenuhi kriteria justice for all, bukan \ justice for one. Ada dua solusi hukum yang dapat dipertimbangkan oleh hakim pengadilan tinggi (PT) dalam menghadapi perlawanan hukum jaksa atas putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Pertama, mengabulkan perlawanan jaksa penuntut umum (JPU). Konsekuensinya bahwa putusan PT atas perlawanan hukum tersebut akan menjadi preseden di kemudian hari dalam perkara praperadilan yang lain sehingga telah dapat diperkirakan, dalam praktik hukum di kemudian hari, jaksa penuntut umum memiliki tiga diskresi dalam menghentikan penuntutan yang akan menjadi preseden, yaitu dengan pertimbangan normatif berdasarkan KUHAP, pertimbangan sosiologis (jika perlawanan JPU dalam perkara Bibit-Chandra dikabulkan PT) dan wewenang deponeeringoleh Jaksa Agung. Kedua, menolak perlawanan jaksa penuntut umum dengan konsekuensi peradilan atas Bibit-Chandra di lanjutkan. Jika langkah ini yang diambil, fair and impartial trial harus dipegang teguh demi menciptakan justice for all berdasarkan alat-alat bukti serta keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua alternatif hukum tersebut sudah tentu memiliki risiko-risiko tertentu baik saat ini maupun di kemudian hari. Kiranya masyarakat baik mereka yang pro maupun kontra masing-masing wajib mematuhi putusan apa pun yang diambil majelis hakim PT atas perlawanan JPU terhadap putusan praperadilan dalam perkara SKPP Bibit-Chandra.
Penulis sangat prihatin dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Perlakuan diskriminatif terhadap pencari keadilan semakin kasatmata dengan berbagai latar belakang sosial dan pertimbangan politik serta kedudukan seseorang di dalam pemerintahan dan lembaga negara. Diskriminasi hukum yang berasal dari penafsiran subjektif dari aparatur penegak hukum memang juga terjadi di negara lain sekalipun dalam frekuensi kecil dibandingkan di Indonesia.
            Diskriminasi hukum yang lahir dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif apalagi hanya karena tuntutan masyarakat sipil semata-mata sama dengan meruntuhkan kekuasaan kehakiman yang didambakan sebagai sarana ideal untuk menggapai cita-cita kepastian hukum dan keadilan di negeri ini. Masih banyak korban ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di luar Bibit-Chandra yang tidak berdaya hanya karena tidak memiliki kekuasaan, uang, dan hanya karena nonpartisan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan alasan sosiologis tak dapat menjadi dasar dalam\ penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit Samad Rianto dan Candra M Hamzah. HakimmembatalkanSKPPitudanmemerintahkan kejaksan membawa kasus Bibit-Chandra ke Pengadilan. Sesungguhnya, tidak cuma alasan sosiologis saja yang mejadi dasar diterbitkannya SKPP itu oleh Kejaksaan Negeri Selatan. SKPP itu juga memuat alasan yuridis, bahkan disebutkan sebagai alasan pertama. Website Kejari Jaksel yang beralamat di www.kejari-jaksel.go.id, Senin (20/4/2010), masih memuat riwayat lengkap penerbitan SKPP itu berikut alasan yang mendasarinya. Dimulai dari diserahkannya berkas kasus yang membuat Bibit-Chandra didudukkan sebagai tersangka itu pada 26 dan 30 November 2009. Sehari setelah itu, atau persisnya tanggal 1 Desember 2009, Kejari Jaksel menerbitkan SKPP untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut. Bibit dan Chandra saat itu juga diundang hadir ke Kantor Kejari Jaksel di Jl Rambai untuk menandatangani SKPP.
SKPP untuk Chandra bernomor Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009, sedangkan SKPP untuk Bibit bernomor Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009. SKPP itu diserahkan langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung Arimuladi. Bibit dan Chandra sebelumnya disangkakan telah melalukan upaya pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan surat cekal tersangka korupsi Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal buronan Joko Tjandra. Keduanya dianggap melangga Pasal 12 huruf e; Pasal 15 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dan/atau Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUHP. Dengan terbitnya SKPP itu, penuntutan keduanya resmi dihentikan. Arimuladi menyatakan, kedua perkara pimpinan KPK itu dihentikan dengan alasan yuridis. Perbuatan tersangka, meskipun telah memenuhi rumusan delik yang disangkakan, namun karena dipandang tersangka tidak menyadari dampak yang akan timbul atas perbuatannya, perbuatan tersebut dianggap hal yang wajar dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya. Hal yang sama juga telah dilakukan pendahulu Bibit-Chandra, sehingga keduanya dapat diterapkan ketentuan Pasal 50 KUHP. Sedangkan untuk alasan sosiologis, Arimuladi menyatakan, adanya suasana kebatinan yang berkembang saat itu membuat perkara Bibit-Chandra tidak layak diajukan ke pengadilan, karena lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Penghentian penuntutan itu juga untuk menjaga harmonisasi lembaga penegak hukum (Kejaksaan, Polri dan KPK) dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi.
            Dan masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak layak untuk dipertanggungjawabkan kepada tersangka karena perbuatan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya di dalam pemberantasan korupsi yang memerlukan terobosan-terobosan hukum," demikian website tersebut menuliskann pernyataan Arimuladi. Dalam berbagai kesempatan, baik Bibit dan Chandra telah membantah melakukan perbuatan yang disangkakan itu. Polisi menuding Bibit menerima uang sekitar Rp 1,5 miliar pada kurun waktu 12-18 Agustus 2008 di hotel Bellagio Residence, Jakarta.
Namun, Bibit menyatakan, pada saat itu ia tengah berada di Peru.
Sementara Chandra mengatakan, tuduhan dirinya menerima uang itu sebagai fitnah. Ia menyesalkan berubah-ubahnya tanggal penerimaan uang itu di berkas polisi. Setelah menyebut uang itu diterimanya pada 27 Februari, polisi lantas mengubah menjadi tanggal 15 April dan terakhir sekitar Maret 2009. Pertimbangan sosiologis” oleh jaksa penuntut umum di dalam SKPP Bibit-Chandra memang tidak jelas. Namun penulis mengonstatasi bahwa pertimbangan tersebut antara lain memperhatikan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden agar perkara Bibit-Chandra dihentikan dan atas dasar rekaman yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi RI dan hasil pemeriksaan Tim Delapan serta tuntutan masyarakat sipil yang sangat luas terhadap penahanan Bibit Chandra oleh penyidik. Jika digunakan pendekatan positivisme hukum, secara normatif pengaruh rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden dan tuntutan masyarakat luas serta beberapa anggota lembaga legislatif dalam perkara Bibit-Chandra merupakan bentuk “intervensi” terhadap proses penyidikan dan penuntutan.
Namun, jika digunakan pendekatan sociological jurisprudence dalam proses peradilan, pertimbangan sosiologis SKPP Bibit-Chandra oleh Kejagung dapat dibenarkan karena SKPP menampung aspirasi yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya “mendekatkan” fakta hukum yang terkandung dalam perkara Bibit- Chandra dan “fakta sosial” yang berada di balik perkara tersebut.
SKPP Bibit-Chandra ini merupakan perkembangan baru dalam proses peradilan pidana Indonesia, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Namun, SKPP Bibit- Chandra tersebut mengandung contradictio in ratio decidendi sehingga mencerminkan suatu SKPP cacat hukum. Pertimbangan hukum dalam SKPP ini pun perlu diuji validitasnya karena jika dibandingkan dengan ketentuan KUHAP (Pasal 140 ayat (2) a) hanya ada tiga alasan untuk mengeluarkan SKPP, yaitu perkara tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum. SKPP Bibit-Chandra justru memuat penegasan bahwa perkara Bibit-Chandra terdapat cukup bukti dan tidak ada alasan normatif lain dengan ketentuan sesuai dengan Pasal 140 ayat 2 huruf d. Apabila kemudian ternyata ada alasan-alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Hasil pertimbangan normatif dan syarat sosiologis yang patut diterima dalam perkara Bibit-Chandra adalah dengan mengeluarkan deponeering. Sekalipun pertimbangan hukum telah cukup bukti, tetapi kepentingan umum yang lebih luas, yaitu kelanjutan kinerja KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi yang telah menjadi kebijakan politik pemerintah akan terganggu dengan penetapannya sebagai terdakwa. Dari sisi penafsiran hukum yang menggunakan pendekatan analitis positivisme hukum atau analytical jurisprudence, penafsiran hukum yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya SKPP Bibit-Chandra tidak memenuhi syarat rulesand logic karena cacat hukum sebagaimana diuraikan diatas. Bagi hakim praperadilan, sudah tentu SKPP Bibit-Chandra dihadapkan pada suatu dilema hukum antara mengedepankan pendekatan positivisme hukum atau analytical jurisprudence yang telah lazim berkembang dalam praktik peradilan, bahkan telah menjadi suatu yurisprudensi. Pertimbangan normatif (tidak sosiologis) selama ini masih dianut pihak Kejagung, termasuk diskresi yang telah diatur dalam penetapan SP3 dan SKPP. Dalam proses penetapan SKPP Bibit-Chandra ini jelas Kejagung dalam posisi terjepit oleh hasil rekomendasi Tim Delapan yang disampaikan kepada Presiden serta oleh tuntutan masyarakat sipil untuk melepaskan Bibit-Chandra dari tuntutan hukum. Adapun analisis normatif jaksa telah menetapkan bukti yang cukup untuk dilanjutkan ke pengadilan. Di sinilah letak pentingnya independensi bukan hanya pada kekuasaan kehakiman semata-mata, tetapi independensi pada Kejagung sebagai penuntut umum di dalam suatu negara hukum. Dalam posisi Jaksa Agung setingkat menteri dalam Kabinet RI sudah tentu sulit untuk mengatakan bahwa Kejagung tidak terbebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif atau pengaruh kekuasaan politik. Jika rekomendasi Tim Delapan tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam nota pembelaan penasihat hukum Bibit-Chandra di sidang pengadilan, sangatlah elegan proses peradilan pidana di negeri kita tercinta ini. Sebab, dengan demikian, kita semua termasuk pimpinan eksekutif dan legislatif tetap menghormati tegaknya hukum dan di sisi lain, sekalipun putusan pengadilan memenangkan salah satu pihak, kemenangan atau kekalahan itu merupakan kemenangan atau kekalahan yang diperoleh secara terhormat dan memenuhi kriteria justice for all, bukan justice for one. Ada dua solusi hukum yang dapat dipertimbangkan oleh hakim pengadilan tinggi (PT) dalam menghadapi perlawanan hukum jaksa atas putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Pertama, mengabulkan perlawanan jaksa penuntut umum (JPU). Konsekuensinya bahwa putusan PT atas perlawanan hukum tersebut akan menjadi preseden di kemudian hari dalam perkara praperadilan yang lain sehingga telah dapat diperkirakan, dalam praktik hukum di kemudian hari, jaksa penuntut umum memiliki tiga diskresi dalam menghentikan penuntutan yang akan menjadi preseden, yaitu dengan pertimbangan normatif berdasarkan KUHAP, pertimbangan sosiologis (jika perlawanan JPU dalam perkara Bibit-Chandra dikabulkan PT) dan wewenang deponeeringoleh Jaksa Agung. Kedua, menolak perlawanan jaksa penuntut umum dengan konsekuensi peradilan atas Bibit-Chandra dilanjutkan. Jika langkah ini yang diambil, fair and impartial trial harus dipegang teguh demi menciptakan justice for all berdasarkan alat-alat bukti serta keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua alternatif hukum tersebut sudah tentu memiliki risiko-risiko tertentu baik saat ini maupun di kemudian hari.
Kiranya masyarakat baik mereka yang pro maupun kontra masing-masing wajib mematuhi putusan apa pun yang diambil majelis hakim PT atas perlawanan JPU terhadap putusan praperadilan dalam perkara SKPP Bibit-Chandra. Penulis sangat prihatin dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Perlakuan diskriminatif terhadap pencari keadilan semakin kasatmata dengan berbagai latar belakang sosial dan pertimbangan politik serta kedudukan seseorang di dalam pemerintahan dan lembaga negara. Diskriminasi hukum yang berasal dari penafsiran subjektif dari aparatur penegak hukum memang juga terjadi di negara lain sekalipun dalam frekuensi kecil dibandingkan di Indonesia. Diskriminasi hukum yang lahir dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif apalagi hanya karena tuntutan masyarakat sipil semata-mata sama dengan meruntuhkan kekuasaan kehakiman yang didambakan sebagai sarana ideal untuk menggapai cita-cita kepastian hukum dan keadilan di negeri ini. Masih banyak korban ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di luar Bibit-Chandra yang tidak berdaya hanya karena tidak memiliki kekuasaan, uang, dan hanya karena nonpartisa

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undand no. 8 Tahun 1981 ( KUHAP ), 2007, jakarta.
Undang-Undang no. 2 tahun 2002, kopolisian negara republik indonesia,2008, jokjakarta.
Peraturan pemerintah no. 2 Tahun 2003, peraturan disiplin anggota kepolisian negara republik indonesia, 2006, jakarta.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar