Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Sabtu, 19 November 2011

HUKUM PEMBUKTIAN ANALISIS VIDEO TELEKONVERENSI SEBAGAI DALAM PERKARA PIDANA, PERDATA, PTUN, HUKUM ISLAM

HUKUM PEMBUKTIAN
ANALISIS VIDEO TELEKONVERENSI SEBAGAI DALAM PERKARA
PIDANA, PERDATA, PTUN, HUKUM ISLAM
 
Sebelum saya melakukan Analisis terkait video telekonvernsi maka saya akan mencantumkan beberapa konsep terkait video telekonversi, untuk mempermudah saya dalam menganalisa tugas ini.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai video conference, lebih baik memahami pengertian dari video dan pengertian conference. Video adalah suatu perangkat yang berfungsi sebagai penerima gambar dan suara, sedangkan pengertian dari conference adalah diskusi antar pengguna teknologi informasi, baik melalui teks maupun perangkat multimedia. Jadi video conference adalah penggunaan komputer jaringan yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan interaksi berupa gambar dan suara.
Konferensi atau pertemuan melalui video. Pertemuan ini dibantu oleh berbagai macam media jaringan seperti telpon ataupun media lainnya yang digunakan untuk transfer data video. Kemudian televisi dihubungkan dengan saluran tadi yang membawa data informasi video dan suara.
Video conference memakai telekomunikasi untuk menyatukan beberapa orang di beberapa lokasi yang secara fisik terpisah, untuk suatu pertemuan. Masing-masing lokasi dalam sebuah sistem video conference membutuhkan sebuah ruang yang diperlengkapi dengan sarana untuk mengirimkan dan menerima video, umumnya melalui satelit.
Video conference ini telah digunakan secara luas selama beberapa dekade. Beberapa perusahaan telah menggunakannya selama waktu tersebut untuk mengatur proyek-proyek yang ada di beberapa lokasi yang tersebar.
Video conference membantu berbagai organisasi menangani waktu, kerumitan, dan jarak. Menghadirkan personifikasi kepemimpinan dengan memungkinkan para manajer senior bertemu lebih teratur dengan staff, menangani proyek, serta pertemuan evaluasi manajemen dan krisis.
Dengan berkembanya teknologi dapat mempermudah manusia dalam melakukan segala kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan teknologi. Semakin maju teknologi ini kemudian bukan hanya mendatangkan kemanfaatan saja, namun juga banyak memberikan kemudhoratan bagi manusia, dalam konteks kejahatan, dengan demikian untuk membatasi kebebasan crime teknologi , pemerintah Republik Indonesia melahirkan Undang-Undang terkait teknologi dan elektronik guna mengurangi tindakan-tindakan criminal yang dapat membahayakan bagi manusia lain. Yaitu dsengan lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang

1.   Video Teleconverensi sebagai alat bukti dalam perkara pidana

Seperti kita ketahui bersama bahwa persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi.
Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.
Dalam hal ini penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh seorang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.
Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya teleconference memang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara  virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan.
Maka dengan demikian alat bukti telekonverensi dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara Pidana dengan berstatus sebagai alat bukti saksi yang kemudian dimuat dalam KUHAP pasal 184 Ayat (1) huruf a. junto UU No 11 tahun 2008 tentang EIT pasal 5 ayat (1) yang berbunyi :
“ Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”

2.   Video Teleconverensi sebagai alat bukti dalam perkara perdata

Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, terutama dalam proses penegakan hukumnya/proses beracaranya. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata pada perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. Pada praktiknya, masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, karena sulitnya mendapatkan alat bukti yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum itu sendiri dalam menggunakan teknologi informasi untuk mencari suatu hal yang dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. 
Penanganan perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik tidak terlepas dari proses pembuktian yang menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Ketentuan hukum mengenai pembuktian termasuk tentang alat bukti yang sah secara hukum didasarkan pada ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) seperti Pasal 1866 KUHPerdata yang menegaskan mengenai susunan alat-alat bukti yang sah pada proses pembuktian dalam perkara perdata.  Proses pembuktian pada perkara perdata dilakukan dengan menerapkan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hal ini dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata, terdiri dari :
1. Bukti surat;
2. Bukti saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Ketentuan hukum mengenai pembuktian atas perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dan alat bukti elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 1866 KUHPerdata.
Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik yang pernah terjadi, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yaitu dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ada dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dianggap sebagai alat bukti surat sebagaimana termuat dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang didasarkan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas). 
            Jadi kesimpulannya adalah video telekonvrensi dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perdata

3.   Video Telekonverensi sebagai alat bukti dalam perkara PTUN

Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menampung aspirasi dan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dengan diterimanya telekonferensi atau video conference yang terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas tersebut.[2] Hasil dari telekonferensi atau video conference yang dijadikan sarana komunikasi, dipermudah dengan adanya tekologi 3 G, yaitu teknologi yang memungkinkan adanya tatap muka melalui media komunikasi. Sarana komunikasi yang demikian ini membawa dampak dalam memberikan kemudahan dari sisi ekonomis. Bertatap muka tidak dengan konteks face to face tetapi bertatap muka dengan media elektronik.
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengakomodasi hal ini. Pasal ini menjadi dasar hukum dari sebuah data digital yang dihasilkan oleh sebuah telekonferensi. Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa :
1.    Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
2. Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
3. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud ayat (1).
4. Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Aturan yang terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa yang dimaksud akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, sedangkan pengertian akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau   di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Undang-Undang Dokumen Perusahaan secara jelas telah mempertimbangkan bahwa kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik. Oleh karena itu, untuk lebih menyederhakan tata cara penyimpanan, pemindahan, pemusnahan, dan penyerahan dokumen perusahaan dapat dilakukan dengan efisien dan efektif dengan tidak mengurangi kepastian hukum dan tetap melindungi kepentingan para pihak dalam melakukan suatu hubungan hukum.
Akibat terjadi suatu pertentangan aturan tersebut, maka apabila salah satu pihak ada yang mengajukan gugatan dengan alat bukti informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti, maka di dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan, hakim dituntut untuk berani melakukan terobosan hukum, karena hakim yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara dan juga yang dapat memberi suatu vonnis van de rechter, yang tidak langsung dapat didasarkan atas suatu peraturan hukum tertulis atau tidak tertulis.

4.   Video Telekonversi Sebagai Alat Bukti dalam Perkara di peradilan Agama

Pengadilan Agama Jakarta Selatansebenarnya sudah membuat sebuah µterobosan¶ berkaitan dengan pengakuan alat buktielektronik. Lewat putusan No. 1751/P/1989 tertanggal 18 Mei 1990, hakim PengadilanAgama Jaksel memutuskan surat/akta perkawinan yang ijab kabulnya dilakukan denganmenggunakan media elektronik adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar