Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Jumat, 16 Desember 2011

PENYEBAB KONFLIK SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian merupakan tanggung jawab dan kewajiban setiap warga negaranya untuk turut serta dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan di seluruh wilayah Indonesia dan berhak untuk hidup dengan bebas dan merdeka disetiap wilayah negara kesatuan Indonesia. Hak hidup ini telah dijamin dalam Undang-undang No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai hak untuk hidup merdeka di setiap wilayah tempat tinggalnya. Untuk itu diperlukan suatu kesadaran dari tiap suku bangsa untuk menjunjung tinggi supremasi hukum dan pemahaman terhadap norma yang ada pada masyarakat setempat. [1]
Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Dengan demikian juga terjadi pelanggaran hak hidup damai dan sejahtera dalam bermasyarakat. Keragaman suku bangsa merupakan kekuatan bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya perpecahan yang akhirnya akan mengganggu kesatuan bangsa. Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik -konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.[2]
Kata konflik, berasal dari bahasa Latin confligere, yang berarti saling memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Wujud konflik yang paling jelas adalah perang bersenjata, dimana dua atau lebih bangsa atau suku bangsa saling tempur dengan maksud menghancurkan atau membuat pihak lawan tidak berdaya. Pihak-pihak yang terlibat konflik, dikuasai oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang dipersengketakan. Fokus perhatian masing-masing pihak terarah pada dua hal, pertama adanya lawan yang menghalangi, dan ke dua adanya nilai lain yang hendak dicapai. Sejarah memberikan kesaksian kepada kita, bahwa peperangan yang terjadi di masa lalu ditemukan adanya nilai sebagai motif perjuangannya; misalnya nilai demokrasi untuk neraih kebebasan dan persamaan hak, perbaikan nasih kaum buruh, ekspansi wilayah/daerah; nilai keagamaan (perang Salib); nilai kemerdekaan & kedaulatan bangsa.[3]
Berbagai kasus konflik sosial yang dialami negeri ini mencerminkan Indonesia merupakan negara yang amat berpotensi terjadinya konflik sosial. Hal ini dengan tepat digambarkan dengan kontur geografi negara kepulauan yang dihuni oleh ribuan suku dan hidupnya berbagai macam ideologi politik yang ada. Keberagaman dapat diartikan sebagai sebuah kekayaan dan keindahan jika hidup dalam keharmonisan, akan tetapi menjadi sebuah malapetaka jika management keberadaan perbedaan tidak diatur secara baik dan tepat. Konflik sosial memang seharusnya tidak dilihat sekedar dalam elemen-elemen perbedaaan sosial yang ada, tetapi dieksplorasi lebih mendalam yaitu akibat kealpaannya keadilan dan dalam-lebarnya jurang kesenjangan sosial yang ada di tengah masyarakat. Permasalahan kesenjangan sosial dan ketidakadilan ‘kue pembangunan’ di tiap wilayah inilah yang kerap disinyalir sebagai trigger perpecahan negara dengan bentuk patologisnya ialah konflik sosial. Bagi negara, konflik sosial merupakan ‘force’ yang negatif dan demi ketertiban umum wajib ditindak bahkan dengan cara-cara represif yang kerap menafikan konsep humanisme. Sedangkan bagi beberapa kaum marxisme dan ilmuwan sosial lainnya, konflik merupakan mekanisme sosial untuk menciptakan dunia tanpa kelas. Konflik merupakan cara untuk mencari format keadilan dan menutup jurang kesenjangan sosial. Sehingga manusia beserta kelompoknya hingga tahap negara harus dapat bersahabat dengan konflik atau dalam tema diskusi kali ini ‘Bercumbu dengan konflik”. Akan tetapi, konflik tanpa katup pengaman dan management yang baik akan membawa chaos di tengah masyarakat. Oleh karenanya, negara harus dapat mengelola konflik untuk kemajuan bangsa.[4] Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 yang melukiskan RPJMN pemerintah, sangat menggaris bawahi Indonesia yang rukun, bersatu, aman dan damai. Akan tetapi, alih-alih membangun sebuah tipologi penanganan konflik sosial secara konstruktif, sistematis dan komprehensif, pemerintah melakukan pendekatan penanganan konflik sosial dengan cara-cara militeristik/represif. Cara penanganan konflik yang militeristik ini tidak hanya bagi konflik vertikal yang ingin memisahkan diri dari NKRI (gerakan-gerakan separatis) tetapi juga pada konflik.

B.       Rumusan Masalah
Apakah penyebab terjadinya konflik sosial dalam masyarakat pedalaman ?

C.      Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik sosial dalam masyarakat pedalaman.

D.      Manfaat Penulisan
Dalam manfaat penelitian ini bahwa agar masyarakat, penegak hukum, pemerintah dan kaum akademisi dapat mengetahui secar jelas mengenai latar belakang terjadinya konflik sosial dalam kehidupan masyarakat pedalaman.



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Dalam Masyarakat Pedalaman
Konflik adalah timbulnya suatu pemahaman yang tidak sejalan antara beberapa pihak. Selain itu dapat juga timbul sebagai pertentangan kepentingan dan tujuan antara individu atau kelompok. Hal ini terjadi jika dalam hubungan tersebut terjadinya suatu kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran serta kekuasaan yang tidak seimbang. Kepentingan dan keinginan-keinginan yang tidak lagi harmonis akan membawa masalah dalam hubungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. Seperti hanya yang terjadi dalam hubungan kelompok etnis Suku.[5]
Konflik sosial yang menjadi obyek ilmu-ilmu sosial adalah konflik sosial sebagai suatu fakta sosial, artinya sungguh terjadi dan dapat diobservasi. Dalam konflik sosial ini melibatkan dua pihak, dan masing-masing pihak berusaha membuat pihak lain tidak berdaya.  Teori Konflik dibangun atas dasar “paradigma fakta sosial”, tidak berbeda dengan teori fungsional struktural. Namun demikian, pola pikir teori konflik bertentangan dengan teori fungsional struktural. Tokoh teori konflik yang hasil pemikirannya secara ekstrim berseberangan dengan teori fungsional struktural adalah Ralp Dahrendorf, diantaranya:
1.        Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
2.        Dalam teori fungsional struktural setiap elemen dianggap memberikan dukungan terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
3.         Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Jika merujuk pada Teori Kebutuhan Manusia : berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia- fisik , mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau yang dihalangi.” Dan Jika Merujuk Pada Teori Identitas : berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan.
Selain teori kebutujan manusia dan teori identitas jika kita kaji lebih mendalam mengenai teori konflik yang pemikirannya cukup kontras terhadap teori fungsional struktural, ada juga ahli teori konflik yang lebih bersifat moderat dalam hubungannya dengan teori fungsional struktural tersebut, diantaranya adalah Lewis A Coser. Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok. Ahli lain adalah Piere Van den Berghe.[6]
Dalam hal ini Berghe mencoba mempertemukan kedua perspektif tersebut. Dia menunjukkan beberapa persamaan analisis antara kedua pendekatan itu, yaitu sama-sama bersifat holistik karena sama-sama melihat masyarakat sebagai terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain, serta perhatian pokok ditujukan kepada antar hubungan bagian-bagian itu. Teori fungsional struktural maupun teori konflik, keduanya cenderung sama-sama memusatkan perhatian terhadap variabel-variabel mereka sendiri dan mengabaikan variabel yang menjadi perhatian teori lain. Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe beranggapan bahwa konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan konflik.[7]
Hal-hal yang dapat memicu suatu konflik dalam kehidupan  masyarakat pedalaman yakni. Adanya ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut pendapat etnis lain.  Kondisi ini tidak ditindak dan disikapi hal inni dapat terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.  Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh  kesombongan dan ketidakpedulian etnis terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.
Dalam kasus-kasus yang terjadi juga menurut pendapat penulis disebabkan dengan adanya suatu minimnya tindak pendidikan dari masing-masing etnis yang berseteruh  sehingga menggap  harga diri adalah di atas segalanya meskipun harus mengalami pertumpahan darah dari lawan. Hal ini yang memerlukan pemahaman yang cukup tinggi untuk dapat memberikan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. sehingga diperlukan sautu kegasan dari pihak pemerintah untuk mengadakan sosialisasi atau penjelasan kepada masyarakat pedalaman akan arti pentingnya suatu perdamaian.
Dalam tulisan ini tidak abdol jika tidak membahas mengenai penyelesaian yang seperti apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem yang ditimbulkan oleh masyarakat pedalaman. Sehingga dalam hal ini perlu kita mengetahui mengenai langkah-langkah dalam melakukan penyelesaian konflik di kalangan masyarakat secara luas.
-          Penyelesaian Konflik
Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil yang maksimal.[8]
a. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak majikan sendiri.[9]
b. Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan
menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.[10]
c. Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah wasit.[11]
d. Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai.[12]
e. Detente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa "istirahat" itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.[13]
Menutup dari tulisan singkat ini menurut pandangan penulis dalam melakukan suatu penyelesaian konflik yang terjadi dimasyakat secara luas perlunya melakukan langkah-langkah yang bukan hanya prosedural semat melainkan adanya penengah yang dapat mempengaruhi masyarakat yang bersengketa, serta adanya keterlibatan pemerintah dan tindak aparat keamanan tidak terlalu mencolok (keras) dalam menyelesaikan konflik di kalangan masyarakat pedalaman pada umumnya.

BAB III
LANDASAN TEORI

A.      Tinjauan Tentang Pengertian Konflik
Konflik adalah timbulnya suatu pemahaman yang tidak sejalan antara beberapa pihak. Selain itu dapat juga timbul sebagai pertentangan kepentingan dan tujuan antara individu atau kelompok. Hal ini terjadi jika dalam hubungan tersebut terjadinya suatu kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran serta kekuasaan yang tidak seimbang. Kepentingan dan keinginan-keinginan yang tidak lagi harmonis akan membawa masalah dalam hubungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. Seperti hanya yang terjadi dalam hubungan kelompok etnis Suku.[14]
B. Tinjauan Tentang Teori fungsional struktural adalah Ralp Dahrendorf, Diantaranya:
4.         Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
5.         Dalam teori fungsional struktural setiap elemen dianggap memberikan dukungan terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
6.          Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
C.    TINJAUAN TENTANG TEORI PENYELESAIAN KONFLIK
-          Penyelesaian Konflik
Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil yang maksimal.[15]
a. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak majikan sendiri.[16]
b. Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan
menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.[17]
c. Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah wasit.[18]
d. Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai.[19]
e. Detente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa "istirahat" itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.[20]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Timbulnya konflik sosial khususnya dalam masyarakat pedalaman dapat disimpulkan bahwa adanya  suatu perbedaan ideologi, perbedaan etnis,tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan serta kesadaran akan suatu damai itu sendiri, sehingga terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat yang berada pada tatara bawah (pedalaman) .
B.     Saran
Keterlibatan pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah sebelum terjadinya konflik adalah solusi yang cukup baik dalam mempererat tali persaudaraan dalam menciptakan masyarakat pedalaman yang harmonis, serta adanya  penegakan hukum yang baik.



Daftar Pustaka


Bambang Sugeng, 2009 “Penanganan Konflik Sosial” Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi (PUSKASI) STKS Bandung.

Basuki Tjahaja Purnama,2009 , dalam Seminar Nasional“Perspektif RUU Penanganan Konflik Sosial”. (akses 08 Juli 2011).

Hendropuspito OC,  1989, “ Sosiologi Sistematik”, Kanisius, Yogyakarta.

Judistira K. Garna, 1992, “Teori-Teori Perubahan Sosial”, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.

Maria Lamria dalam Jurnal, 2009,Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horizontal” http://www.balitbangham.go.id/JURNAL/Jurnal%20HAM%20I%20MARIA.pdf ,  . (08 Juli 2011).

Thomas Sunaryo.”Manajemen Konflik dan Kekerasan”, Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI. Diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa Prop.DKI tgl. 15-17 September 2002, di Bogor.



[1] Maria Lamria dalam Jurnal,  Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horizontal” http://www.balitbangham.go.id/JURNAL/Jurnal%20HAM%20I%20MARIA.pdf ,  2009. ( 08 Juli 2011).

[2] Ibid.
[3] Bambang Sugeng “Penanganan Konflik Sosial” Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi (PUSKASI) STKS Bandung, 2009.

[4]  Basuki Tjahaja Purnama,2009 , dalam Seminar Nasional“Perspektif RUU Penanganan Konflik Sosial”. ( 08 Juli 2011).

[5] Thomas Sunaryo.”Manajemen Konflik dan Kekerasan”, Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI. Diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa Prop.DKI tgl. 15-17 September 2002, di Bogor.
[6] D. Hendropuspito OC,  1989, “ Sosiologi Sistematik”, Kanisius, Yogyakarta, hal 63.
[7] Ibid.
[8] Judistira K. Garna, 1992, “Teori-Teori Perubahan Sosial”, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, hal 123.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid 124.
[12] Ibid.
[13] Ibid. 
[14] Thomas Sunaryo, Op Cit.
[15] Judistira K. Garna, “Teori-Teori Perubahan Sosial”, Op Cit  123.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid 124.
[19] Ibid.
[20] Ibid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar