Rapat

Rapat
Hipma Buru Malang

Jumat, 02 Desember 2011


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi dan politik yang menghantam mulai pertengahan tahun 1997, mengharuskan bangsa Indonesia menelaah kembali konsep-konsep, metode-metode dan praktek-praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterapkan selama tiga dekade terakhir yang diyakini berperan besar dalam menyumbang terjadinya krisis tersebut.[1] Pemerintahan yang sentralistis dan birokrasi yang patrimonialistik, penyelenggaraan Negara yang terlepas dari kontrol sosial dan kontrol politik suprastruktur dan infrastruktur politik, serta ideologi pembangunanisme yang tidak berbasis pada ekonomi kerakyatan, berimplikasi luas pada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam tubuh pemerintahan Indonesia di bawah rezim Orde Baru.[2]
Orientasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN di Negara Indonesia pada khususnya sebenarnya telah menjadi diskursus sejak awal berdirinya Orde Baru. Berbagai instrumen hukum dan lembaga telah dibentuk dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dikeluarkannya Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dan Keppres No. 33 Tahun 1986 tentang Kewajiban Pelaporan Pajak Pribadi bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, BUMD dan BUMN menunjukkan hal tersebut.[3]
Namun ternyata kemudian terlihat, upaya-upaya tersebut hanya berhenti sampai tataran normatif dan tidak berlanjut ke tataran yang kongkret dan operasional. Ekonomi biaya tinggi dan krisis kepercayaan kepada pemerintah merupakan bukti dari tidak pernah adanya komitmen dan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah Orde Baru untuk mencapai tujuan tersebut.[4]Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa telah membawa pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai salah satu tuntutan yang tidak dapat dikompromikan. Setelah kejatuhan Soeharto isu ini terus disuarakan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN kembali marak setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 ramai membahas tentang perlu-tidaknya seseorang melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki sebelum dan sesudah menduduki suatu jabatan negara. Perdebatan sidang umum tersebut terjawab pada Sidang Kabinet Pembangunan VII tanggal 17 Maret 1998 yang memutuskan agar pejabat tinggi negara dan pejabat negara lainnya melaporkan seluruh harta kekayaan pribadi, termasuk harta istri maupun suami, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.[5]
Laporan ini bersifat tertutup hanya kepada Presiden dan tidak dilaporkan kepada masyarakat dengan alasan etika. Pelaksanaan hasil sidang kabinet tersebut sekali lagi – tidak pernah terealisir. Kondisi struktural dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada bulan Mei 1998 dan kemudian ia digantikan oleh Wakil Presiden Habibie yang langsung menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan. Jatuhnya Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan lemahnya legitimasi politik Kabinet Reformasi menjadikan tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak dapat dibendung lagi oleh pemerintah. Perdebatan mengenai upaya menciptakan clean govermance di Indonesia terulang kembali pada Sidang Istimewa MPR yang diadakan pada bulan November 1998. Perdebatan yang alot dan ‘berdarah’ tersebut akhirnya menghasilkan Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Materi utama dari Tap MPR tersebut adalah mengenai keharusan seorang pejabat negara untuk mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat; perintah kepada Kepala Negara RI untuk membentuk suatu lembaga dalam rangka melaksanakan pemeriksaan kekayaan pejabat tersebut dan tercantumnya nama mantan Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah.[6]
Berdasarkan arahan dari Tap MPR-RI No. XI/MPR/1998, pemerintah membentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Undang-undang ini diharapkan dapat dijadikan landasan utama dari pemerintah yang sekarang dan di masa depan dalam rangka menciptakan penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih, berwibawa, dan profesional serta mengabdi pada kepentingan masyarakat luas.[7]
Terlepas dari itu semua, upaya untuk memerangi KKN ini tidak akan berhasil tanpa adanya peran aktif masyarakat. Untuk itu Forum Anti Korupsi yang terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki perhatian terhadap persoalan KKN meminta peran aktif masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. 
Untuk itulah, penulis berkeinginan meneliti dan membahas mengenai Bagaimanakah bentuk peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN di Indonesia. Dalam penulisan karya ilmiah skripsi yang berjudul : TELAAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM MEWUJUDKAN PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DARI KORUPSI,KOLUSI SERTA NEPOTISME DI NEGARA INDONESIA.

B.       Rumasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa upaya untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia sangat sulit. Dalam hal ini juga disadari bahwa peran serta dari masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.
 Berkaitan dengan itu dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah bentuk peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN di Indonesia ?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis ini secara khusus adalah :
1.      Untuk mengetahui Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Kkn Di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam undang-undang, peraturan pemerintah pusat, peraturan pemerintah daerah (Perda) yang mengatur tentang tata kelola  pemerintah. Termasuk juga memperjuangkan penegakan perinsip-perinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam kerangka peraturan tersebut. Selanjutnya peran pengawasan, yang dikenal dalam undang-undang sebagai fungsi ‘ pengawasan masyarakat’ dalam mengelola pengadaan barang/jasa di instansi-instansi pemerintah tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Peran aktif masyarakat dalam pengawasan ini diharapkan dapat mencega berkembangnya penyimpangan, menekan peluang atau memperbesar resiko korupsi.
D.      Kegunaan penulisan
Penlis hasil penelitian ini juga diharakan mempunyai kegunaan-kegunaan, antara lain :
1.      Untuk kepentingan Teoritis :
Hasil telaah hokum ini diharapkan dapat memberikan masukan serta mengembangkan teori-teori dalam aspek ilmu hukum berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.
2.      Untuk Kepentingan Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat bagi penulis serta pembaca sebagai kegiatan belajar untuk melatih sikap kritis dalam menghadapi fenomena hukum serta sebagai wahana untuk melatih diri memecahkan serta mencari penyelesaian alternative persoalan secara rasional dan konprehensif. Disamping itu, penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis secara subyektif guna menambah wawasan dan  mempertajam analisis berfikir tentang masalah hokum sebagai bekal untuk hidup, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
E.       Kerangka Teori
1.      Pengertian Administrasi Negara
a.       Menurut M/E Dimock Dan G.O Dimock mengatakan bahwa :
Administrasi Negara merupakan suatu bagian dari administrasi umum yang mempunyai lapangan yang lebih luas, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana lembaga-lembaga mulai dari suatu keluarga hingga perserikatan bangsa-bangsa disusun, digerakkan dan dikemudikan.[8]
b. Bachsan Mustafa, administrasi Negara adalah sebagai gabungan jabatan- jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi kepada badan -badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakuman. [9]
c. Wilson 1987, administrasi sebagai ilmu. Pemikiran tentang supremasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi – fungsi politik administrasi. Slogan klasik pernah juga ditawarkan manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai, when politic end, administration begin – Wilson 1941.[10]
d. John M. Pfiffer dan Robert V, Administrasi Negara adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan – kebijaksanaan pemerintah, pengarahan kecakapan dan teknik – teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.[11]
e. Administrasi Negara adalah segenap proses penyelenggaraan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah suatu Negara, untuk mengatur dan menjalankan kekuasaan Negara, guna menyelenggarakan kepentingan umum;[12]
f. Administrasi Negara mempunyai pengertian yang bersifat kombinatif (verzamelterm) yakni: (i) Adanya administrasi negara sebagai organisasi. (ii) Administrasi secara khas mengajarkan tujuan yang bersifat kenegaraan (publik) artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan Undang-Undang “dwingend recht” (hukum yang memaksa)[13].
2.      Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Perbuatan melawan hukum
b.      Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
c.       Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d.      Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
a.       Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
b.      Penggelapan dalam jabatan;
c.       Pemerasan dalam jabatan;
d.      Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
e.       Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.[14]
F.       Metode penulisan
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan penulis maka metode yang digunakan dalam Telaah hokum ini adalah :
1.      Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologi, dari segi yuridis yang memandang hukum sebagai alat yang dapat mengatur segala kepentingan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang tertuang dalam undang-undang.

2.      Sumber bahan hokum
Dalam penelitian ini, jenis-jenis bahan hokum yang digunakan adal;ah. Bahan-Bahan sekunder yaitu bahan yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti seperti Peran Serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN. Pendapat Ahli,Sarjana,buku-buku referensi, surat kabar, media internet, jurnal maupun dokumen. Kemudian terbagi dalam tiga :
a.      Bahan Hukum primer.
Yang dimaksud dengan bahan hokum primer adalah bahan hokum yang diperoleh dari hokum positif atau bahan hokum yang mempunyai kekuatan mengikat, bahan hokum primer.
b.      Bahan hokum sekunder
Adalah bahan hokum yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer yang bersifat menunjang sehingga membantu Dlam menganalisis dan memahami bahan hokum primer dalam hal ini, yang digunakan penulis adalah buku-buku, jurnal,internet,artikel,dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan topic bahasa.
c.       Bahan hokum tersier
Merupakan bahan hokum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hokum primer dan bahan hokum sekunder, bahan hokum yang dimaksudkan dalam penelitian  ini adalah. Kamus dan ensiklopedia.
3.      Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hokum adalah suatu prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh bahan hokum yang diperlukan,maka dalam penelitian ini menggunakan teknis :
a.      Dokumentasi
Pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang diteliti diluar dari data pustaka,guna melengkapi data-data yang diperlukan yang sudah menjadi  dokumen dari Negara baik berupa Administrasi maupun undang-undang.
b.      kepustakaan
studi kepustakaan (library research), yakni pengkajian informasi tertulis mengenai hokum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas, serta dibutuhkan dalam penelitian. Kepustakaan yang dimaksud adalah; berupa buku-buku ilmu hokum,artikel hokum, jurnal hokum, media cetak dan atau media elektronik,yang berkaitan dalam menentukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
4.      Metode analisis bahan hukum
Dalam analisis bahan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu analisa mendalam dan kritis terhadap aturan-aturab hokum yang berkaitan dengan judul yang diangkat, maupun dari literature-literatur serta data fakta yang diperoleh sehingga penelitian hokum ini terarah sesuai dengan tujuan studi analisis yang dimaksud.









G.      Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari penelitian skripsi ini maka penulis menyususn rangkaian sistematika penelitian adalah sebagai berikut :
BAB I      : Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Metode Penelitian dan sistematika penulisan
BAB II     : Dalam Bab ini berisi pengertian tentang tinjauan umum dan kajian pustaka mengenai pengertian-pengertian, pendapat para ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan.
BAB III   : Dalam Bab ini akan dijabarkan data-data hasil analisa penelitian berkenaan dengan permasalahan yang dimaksud.
BAB IV   : Merupaka Bab terakhir atau penutup dalam penelitian yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan hal-hal yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.










DAFTAR PUSTAKA
BPKP, 2001 “Himpunan Peraturan Tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”, BPKP, Jakarta.


Indonesia Procurement Watch, 2009, “Peran Masyarakat Sipil Menanggulangi Korupsi”, http://www.iprocwatch.org/berita/utama/54-peran-masyarakat-sipil-menanggulangi-korupsi.html.

M. Hadjon Philipus, 2005, “Pengantar Hukum Administrasi Di Indonesia/Itroduction To The Indonesian Administration Law”, Gajmadah Universiy Press, Yogyakarta.

    Pariba, 1999,  UU Politik Buah Reformasi Setengah Hati, Sembrani Aksara Nusantara”, Jakarta.

Purnomo Sidik, 2009 Teori Administrasi Negara”,http://kidispur.com/2009/01/teori-administrasi-negara.html.

Sam Arianto http://artikel

W Utomo Tri Widodo, 2009 “ Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara”, http://artikel administrasi.com/2010/12/pemberantasan-korupsi-dalam-perspektif.html.















[1] BPKP, “Himpunan Peraturan Tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”, BPKP, Jakarta, 2001, hal. 1.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid hal.2.

[6]  Pariba, “Undang-Undang Politik Buah Reformasi Setengah Hati”, Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta, 1999, hal. 45.

[7] Ibid
[8] Dalam Artikel Arianto Sam http://artikel
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]Ibid .
[13] Philipus M. Hadjon “Pengantar Hukum Administrasi Di Indonesia/Itroduction To The Indonesian Administration Law”, Gajmadah Universiy Press, Yogyakarta,2005, hal.26.
[14] Dikutip melalui http://id.wikipedia.org. Mengenai Pengertian KKN. (23 April 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar